Fitrah untuk hidup berpasangan merupakan suatu hal yang manusiawi, lumrah dan sudah menjadi sunnah dunia bahkan -jika boleh ekstrim mengatakan- hidup berkeluarga adalah sebuah kebutuhan. Dalam memenuhi fitrah dan kebutuhan ini Islam menggariskan satu jalan istimewa yaitu pernikahan. Terkait dengan hal ini, pernikahan yang berteraskan syariat diharap mampu mengubahwujudkan angan-angan kebahagiaan ke alam nyata. Kasih sayang dan kemesraan menjadi motivasi dan penggerak ke arah kesempurnaan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Sebaliknya pernikahan yang dilatarbelakangi atas dusta akan menuai keretakan, menghasilkan virus-virus kelabilan pribadi dan membawa kesan negatif bukan saja pada diri bahkan juga masyarakat; Islam.
Pernikahan dengan mudah dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu, monogami dan poligami. Monogami adalah pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita. Sedangkan poligami merupakan pernikahan seorang pria dengan beberapa orang wanita pada satu masa. Jenis pernikahan kedua inilah isu yang kerap menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat termasuk umat Islam.
Harus diakui, praktek poligami telah menjadi bagian
gaya hidup sebagian kecil kaum pria
, bahkan pada kalangan tertentu aktivitas ini sudah membudaya. Faktanya poligami telah ada sejak zaman duhulu dan terus terpelihara hingga kini dengan berbagai pembenaran dan legitimasi kultural, sosial, ekonomi, dan agama. Hingga hal tersebut membuat kaum pria menepuk dada dan mengultimatumkan bahwa poligami merupakan hak mereka, sedangkan kaum wanita bersikeras enggan dimadu dengan beragam alasan.
Jauh sebelum Islam datang, praktek ini memang sudah dikonsumsi oleh pelbagai kalangan, bangsa dan agama, baik itu Yahudi maupun Kristen.
Bahkan jumlah istri bisa membengkak hingga belasan. Tatkala Islam
datang praktek ini dibenarkan dan dijadikan salah satu solusi serta alternatif dalam mengentaskan masalah sosial.
Praktek ini terus dilaksanakan secara turun temurun hingga saat ini. Perbedaannya adalah jika poligami merupakan hal yang wajar pada saat tertentu, maka ia sekarang merupakan momok dan benda yang menakutkan bagi sebagian kalangan.
Maka apabila isu poligami diketengahkan, masyarakat akan menilainya dari pelbagai sudut.
Sebagian besar masyarakatcenderung melihatnya ‘sebelah-mata’, berbagai anggapan buruk dan ragam citra negatif selalu mengakar dalam benak mereka. Mereka sering mengaitkan hal ini sebagai suatu yang hanya menguntungkan kaum pria dan sangat menakutkan serta memilukan bagi kaum wanita. Apalagi liputan media sering menayangkan kisah sedih pengalaman pahit yang dilalui seorang wanita yang dimadu, seakan-akan mereka adalah bulan-bulanan dan mangsa ketidakadilan kaum pria dan lain sebagainya. Hal tersebut kian mengkristal tatkala fakta lapangan mengatakan bahwa segelintir sekali lelaki yang berpoligami sukses berlaku adil. Hal ini semua selanjutnya dijadikan kayu ukur dalam menilai prektek dan kewajaran amalan/tradisi tersebut.
Lalu bagaimanakah seyogyanya seorang muslim memandang hal ini? Apa landasan filosofis praktek ini dibolehkan Islam? Apa hikmah dari pembenaran praktek tersebut? Tulisan ini dengan segala kekurangannya akan mencoba mengungkap hal tersebut. Dan semoga dapat memberi kontribusi konstuktif bagi perkembangan dunia keilmuan Islam
.
Pemahaman Nash yang Keliru
Jika nash-nash agama tentang poligami ditalaah lebih jauh, maka akan didapati
lima poin sentral yang menjadi kajian serius dalam bahasan ini. Kelima hal tersebut adalah, pembenaran poligami, pembatasan jumlah wanita yang dimadu, peringatan atau
warning agar berlaku adil (moralitas poligami), adanya ayat yang mengatakan ketidakmampuan seorang laki-laki untuk berbuat adil dan perilaku/sikap nabi dalam berpoligami.
Sebebarnya debat antar kelompok yang pro dan kontra seputar masalah poligami dapat padam melalui pemahaman yang konferhensif dan integral terhadap nash-nash agama dan sesuai proporsinya. Sebab pemahaman sebagian kaum muslim atas nash agama terkadang berlebihan atau sebaliknya (menghalang-halangi praktek tersebut). Dengan ringkas pemahaman kedua kelompok tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, pihak yang berlebihan. Mereka beranggapan bahwa poligami adalah perkara utama untuk dikerjakan dan merupakan sunnah Rasul dimana pola hidupnya (nabi) serat dengan praktek ini. Mereka menggunakan logika bahwa ayat “
Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisa: 3) seolah-olah memerintahkan poligami terlebih dahulu dan bila tidak mampu baru cukup beistri satu saja. Mereka juga menjadikan sebab nuzulnya ayat tersebut
sebagai justifikasi dari praktek ini dimana seakan-akan poligami memang sangat dianjurkan.
Anggapan lain adalah, mereka terlalu optimis dengan kemampuan menanggung beban nafkah. Padahal Islam mengajarkan umatnya untuk selalu berfikir logis dan penuh perhitungan. Memang rezeki itu Allah Swt yang menentukan, tapi perlu diingat bahwa rezeki itu harus diusahakan. Bahkan seorang perjaka yang mau menikah pertama kali pun harus memiliki kemampuan finansial yang lumayan, jika belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa saja
.
Kedua, mereka yang tidak menyetujui/menentang poligami. Kalangan ini sibuk membolak-balik ayat Al-Quran dan hadis untuk mencari pembenaran bahwa kedua sumber Islam tadi melarang atau minimal memberatkan jalan menuju poligami. Usaha itu terlihat tatkala ingin dibuatnya suatu hal yang mengikat suami untuk berjanji tak menikah lagi tatkala melangsungkan prosesi pernikahan pertamanya. Janji itu diqiyaskan dengan
sighah ta'liq yang bila dilanggar maka isterinya diceraikan.
Mereka juga mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan poligami kecuali hanya kepada janda saja, padahal menikahi wanita yang berstatus janda adalah bukan syarat untuk berpoligami. Disamping itu mereka beranggapan bahwa bahwa syarat berlaku adil tak mungkin dilakukan, sebab Al-Quran dengan tegas mengatakan bahwa hal itu merupakan suatu yang mustahil untuk dilaksanakan. Dengan demikian maka poligami dilarang oleh Islam.
Pemahaman Nash yang Proporsional Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah. Ia mengakui keberadaan dan keinginan manusia. Diantaranya, hidup berpasangan dan beristri lebih dari satu. Berasaskan pada keadaan inilah Islam melegalkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Dengan tujuan praktek ini dapat menjamin kesejahteraan hidup masyarakat secara umum.
Ada dua nash Al-Quran yang menjadi poros sentral dalam memecahkan masalah ini. Keduanya seakan-akan saling kontradiksi jika dipandang sepintas lalu. Satu nash membolehkan poligami dengan syarat adil dan membatasi jumlah maksimal perempuan yang boleh dinikahi dalam satu waktu; empat orang. Sedang nash yang lain mengatakan bahwa keadilan tersebut tak mungkin direalisasikan.
Jika dikaji dengan teliti maka akan dapat diketahui bahwa sebenarnya kedua ayat tersebut tidaklah saling menjatuhkan. Ayat pertama yang membicarakan poligami adalah “
Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisa: 3). Sebenarnya, ada tiga ragam pemahaman ulama dalam membaca dan menafsirkan ayat ini dan keterkaitannya dengan ayat sebelumnya.
Tapi pada kesempatan ini penulis hanya ingin mengemukakan satu dari tiga ragam tafsiran tersebut yakni
,
“Wahai orang muslim, jika kalian takut untuk menikahi anak-anak yatim yang berada dalam asuhanmu dikarenakan kezaliman yang akan kalian lakukan ke mereka maka nikahilah wanita-wanita selain mereka, dua, tiga atau empat. Dan jika kamu takut untuk tidak bisa berbuat adil maka cukup nikahi satu orang saja disamping budak-budak kalian yang bisa kalian hirup madunya”.
Ada beberapa pemahaman penting yang bisa diambil dari ayat dan pemahamannya, diantaranya,
Pertama, sebenarnya nash tersebut tidak mewajibkan praktek poligami kepada umat Islam. Akan tetapi Islam hanya mengakui praktek tersebut jika sejalan dengan syarat-syarat yang telah dicanangkan.
Kedua, Islam membatasi jumlah maksimal dalam poligami dengan bilangan empat.
Ketiga, syarat utama dari poligami adalah keadilan.
Keempat, alternatif pengganti adalah budak, jika seseorang khawatir bahwa dirinya tak mampu untuk berbuat adil, karena hak budak tak serupa dengan hak istri.
Ayat kedua adalah, "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isten(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung." (An-Nisa': 129). Memang tampaknya ayat ini sungguh bertentangan dengan ayat diatas. Akan tetapi sebenarnya tidak, sebab adil yang dimaksud hanyalah keadilan zahir, bukan batin. Jadi masalah batin yang menyangkut hati dan perasaan secara khusus pada salah seorang dari para isteri-isteri tidaklah termasuk dalam khitab ini.
Dengan pemahaman seperti ini maka kontradiksi yang kerap terjadi mudah-mudahan dapat dinetralisir.
Latar Belakang Dibolehkan Poligami Dengan melihat dua nash diatas dapat diketahui memang Islam membolehkan praktek poligami bagi umatnya. Lalu apa latar belakang pembolehan tersebut? Pertanyaan tadi akan terjawab dari sunnah dan sejarah kehidupan nabi serta talaah para ulama. Diantara latar belakang tersebut adalah: Pertama, latar belakang sosial. a. Pada saat kuantitas jumlah pria lebih sedikit dibandingkan wanita, maka hal ini merupakan penyebab yang membolehkan praktek tersebut dilakukan. Jumlah pria bias lebih sedikit mungkin dikarenakan perang atau kerja keras. Jadi sebagai bentuk dari perlindungan terhadap kaum wanita, maka kaum pria boleh menikahi wanita lebih dari satu. Disamping itu upaya memperoleh keturunan merupakan salah satu tujuan demi membangun kekuatan negara, apalagi dalam kehidupannya terbukti wanita berumur lebih panjang dari pria. b. bertambahnya populasi wanita tersebut dapat menuai dampak negatif jika praktek ini dilarang. Tentu tak dapat dipungkiri bahwa setiap wanita mendambakan hidup berkeluarga. Jika hal ini belum ia capai, maka rasa gundah hidup kesepian akan menimpa mereka bahkan upaya untuk melampiaskan hasratnya yang belum tersalurkan akan berakibat fatal bagi tatanan masyarakat, sebab prostitusi terselubung atau terang-terangan pasti merusak pola hidup generasi suatu bangsa. Kedua, latar belakang individu. a. penyakit yang diderita oleh sang istri, dimana penyakit tersebut mengharuskan suami untuk tidak menggaulinya. Pada saat itulah sungguh sangat bijak sekali jika sang suami tidak menceraikannya akan tetapi ia tak dihalangi untuk menikahi wanita lain. b. Sang suami ingin mempunyai anak laki-laki, sedangkan istrinya tersebut hanya melahirkan anak perempuan saja
. c. Sang istri mandul dan sang suami ingin mempunyai keturunan. d. Keinginan suami untuk memiliki keturunan yang banyak, sedang sang istri tak mampu untuk memenuhi hal itu. e. sang istri sudah lanjut usia atau sudah sampai ke terminal manupouse, sedang suami masih segar bugar. f. Seorang suami tak mampu untuk bersabar pada waktu-waktu tertentu seperti pada saat kaum wanita hamil, nifas dan haid. g. Kemampuan hubungan biologis suami yang luar biasa. Ketiga, latar belakang politik dan ekonomi. a. Poligami terjalin lewat ikatan pernikahan antar suku dan bangsa akan mencegah peperangan dan konflik yang akan terjadi dan membuahkan hidup bersama yang harmonis. b. Kehidupan berpoligami yang harmonis dan saling berlapang dada antar istri-istri akan membuat hubungan saling tolong menolong dalam keluarga tercipta. Hal ini selanjutnya akan membuat pembagian kerja antar mereka. Disamping mereka juga dapat mendapat nafkah untuk kehidupannya. Perlu diketahui bahwa latar belakang kehidupan berpoligami Rasul banyak dilandasi dengan hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat (sosial) dan politik serta ekonomi.
Syarat-Syarat Poligami
Memang Islam membolehkan praktek poligami. Akan tetapi ia tidak melepas aktivitas ini tanpa rambu-rambu yang harus ditaati. Setidaknya ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk mereka yang ingin berpoligami. Yakni:
Pertama, kemampuan untuk menanggung nafkah Isteri-isteri. Sebab pemberian nafkah merupakan kewajiban seorang suami, baik nafkah zahir maupun nafkah batin. Nafkah zahir yang dimaksudkan ialah makan-minum, pakaian, dan kediaman atau sandang pangan dan papan. Nafkah batin disini adalah upaya dan kemampuan dalam memberi nafkah intim/malam untuk isteri dan memberi rasa tenang dalam diri mereka. Jadi jika seorang suami tidak mampu menafkahi satu orang istri maka tidak boleh baginya untuk berpoligami. Jika ia tetap berpoligami maka ia berdosa. Begitu juga bagi mereka yang telah beristri dua dan tidak memiliki kemampuan untuk beristri lagi (ketiga).
Apalagi syariat Islam menggariskan suatu aturan, yakni kemampuan memberi nafkah bagi mereka yang baru mau menikah untuk kali pertama. Lalu bagaimana dengan kadar pemberian nafkah tersebut.
Ada dua pendapat mengenai kadar pemberian nafkah
,
pertama, melihat keadaan dan kemampuan suami saja tanpa menilik bagaimana keadaan dan kebutuhan istri.
Kedua, melihat keadaan mereka berdua suami dan isteri. Yakni menurut kesanggupan suami dan hal-hal yang perlu diberi menurut keadaan isteri. Artinya jalan tengah dari dua keadaan yang berbeda (suami-isteri). Jadi dalam keadaan ini rasa saling pengertian sangat mempunyai andil besar. Dari kedua pendapat diatas tampaknya pendapat kedua lebih sesuai dengan konsep keadilan. Yakni dengan memandang ke keadaan suami dan isteri yang hidup bersama dari status, kedudukann dan latar belakang yang berbeda. Jika suami ingin memberi tambahan nafkah pada satu waktu untuk salah satu dari istrinya, maka hal tersebut dibolehkan sepanjang tidak membawa kepada perselisihan antar mereka (istri-istri).
Kedua, berlaku adil terhadap isteri-isteri. Menurut ulama Syafi’iyyah keadilan yang dimaksud adalah penyamarataan hak-hak mereka yang meliputi sandang, pangan dan papan terhadap semua isteri
, giliran bermalam tanpa wujud pilih kasih. Hal ini merupakan wujud interaksi yang baik antar suami isteri. Bukan hanya itu perbuatan yang berakhlak, tutur kata yang berbudi juga wajib dijelmakan dalam perkara-perkara
ikhtiyâri dan lahiriah. Jadi keadilan yang dimaksud disini adalah keadilan lahir yang mencakup:
a. Adil dalam menyediakan tempat tinggal
Sebagaimana seorang suami diharuskan memberi nafkah, menyediakan tempat tinggal bagi isteri baik dalam keadaan monogami juga suatu tuntutan apalagi dalam keadaan poligami. Tatkala berpoligami memisahkan mereka dari yang lain merupakan langkah prepentif untuk mengelak perselisihan dan perasaan cemburu yang membabi buta. Menurut ‘Abd al-Nasir Tawfiq al-‘Attar dalam bukunya
Poligami ditinjau dari segi agama, sosial dan perundang-undangan (Ta’addud Al-Zawjât min Al-Nawâhi Al-Dîniyyah wa Al-Ijtîma’iyyah wa Al-Qanuniyyah), pemisahan mereka tersebut tergantung pada kemampuan seseorang suami. Adalah langkah yang baik jika disediakan sebuah rumah untuk setiap isteri. Tapi jika tidak memungkinkan boleh memisahkan meraka pada kamar-kamar yang berbeda dalam satu rumah. Tapi, walau bagaimanapun dari segi psikologi, menempatkan isteri-isteri dalam rumah yang sama akan memudahkan mereka berselisih faham dan melukai hati mereka.
b. Adil dalam giliran bermalam
Seorang suami wajib menentukan waktu giliran bermalam dengan istri-istrinya secara adil tanpa membedakan antara isteri muda dan isteri tua. Ia akan berdosa jika memberikan giliran lebih banyak kepada salah seorang isteri dari isterinya yang lain. Tapi, hal tersebut masih ada kelonggaran yang diberikan Islam, yakni boleh memberikan giliran malam yang lebih pada awal perkawinan dengan isteri baru, dengan jumlah yang berbeda bagi yang masih perawan dan janda sebagaimana sebuah hadis yang artinya, “
Seorang lelaki jika menikah dengan seorang perawan maka ia bermalam dengannya selama tujuh malam. Dan apabila menikah dengan janda maka ia bermalam selama tiga malam ”. (Riwayat Muslim). Di samping itu keadilan dalam giliran malam ini masih juga ada kelonggaran. Yakni tergantung dengan situasi seorang isteri, dimana dibolehkan bagi seorang isteri memberi waktu gilirannya kepada istri yang lain . Hal ini berdasarkan kepada hadis Nabi yng diriwayatkan oleh Al-Bukhari, bahwa Saudah memberi waktu gilirannya kepada Aisyah.
c. Adil dalam Musafir
Munurut Imam Syafi’, suami wajib membuat undian bagi isteri-isterinya tatkala ingin berpergian.
Dan ia tidak wajib mengganti giliran bermalam kepada isteri yang sepatutnya mendapat hak pada masa bepergiannya. Dan undian ini merupakan satu bentuk keadilan, sebab seorang sumi tidak mungkin hari-harinya selama setahun selalu berpergian dengan membawa seorang istri.
Adil; Kunci Pembuka Poligami
Adil merupakan kunci awal pembuka praktek poligami bagi seorang lelaki. Perlu diingat keadilan disini hanya berladaskan
dzann (perkiraan) yang kuat bahwa ia mampu melakukan praktek poligami. Tantunya
dzann ini ditimbang matang-matang oleh seorang lelaki apakah dirinya mampu ataupun sebaliknya. Semua tergantung pada perkiraan lelaki dan hanya dirinya sendiri yang tahu akan hal itu. Sebab ia belum mengetahui apakah ia mampu bersikap adil secara empiris, karena memang ia belum berpoligami. Jadi sebenarnya syarat yang diletakkan oleh Islam untuk berpoligami adalah kepercayaan seorang Muslim pada dirinya untuk bisa berlaku adil dalam masalah makan, minum, berpakaian, tempat tinggal, menginap dan nafkah. Jika keyakinan tersebut tak kunjung datang maka tentu ia tak boleh menikah lagi.
Perasaan, cinta, jumlah berhubungan intim dan kasih sayang pula tidak termasuk dalam tuntutan keadilan karena hati manusia sulit untuk dikendalikan dan dirasa atau diukur, karena hati berada dalam genggaman Allah Swt.
Kecenderungan yang diperingatkan dan diwanti-wanti dalam surat An-Nisa ayat 129 adalah penyimpangan terhadap hak-hak isteri, bukan adil dalam arti kecenderungan hati, karena hal itu termasuk keadilan yang tidak mungkin dimiliki manusia dan dimaafkan oleh Allah. Oleh Sebab itu, tatkala Rasulullah Saw menggilir isterinya dengan adil, beliau selalu berdoa,
"Ya Allah inilah penggiliranku (pembagianku) sesuai dengan kemampuanku, maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa-apa yang Engkau miliki dan yang tidak saya miliki."(HR. Khamsah). Maksud dari doa ini adalah kemampuan untuk bersikap adil dalam kecenderungan hati kepada salah seorang isteri Nabi, cinta, kasih sayang dan hubungan intim.
Tapi yang perlu dingat oleh sang suami adalah, mungkin suami merasa ia lebih sayang isteri kedua dari pada istri pertama yang sudah berumur, namun si suami hendaknya tidak memperlihatkan perasaan tersebut dengan jelas di depan istri yang lain. Sejatinya memang menyayangi semua dalam kadar yang sama adalah sangat mulia (keadilan mutlak). Praktek keadilan tersebut idealnya bukan sekadar keadilan kuantitatif akan tetapi mencakup keadilan kualitatif (kasih sayang; fondasi dan filosofi utama kehidupan rumah tangga).
Cemburu dan Kodrat Manusia
Kecemburuan dan persaingan para isteri memang sangat nyata dalam keluarga yang berpoligami, bahkan agama pun tak menafikannya. Memang
, Perempuan yang dimadu tentu mengalami
self-depreciation, penderitaan lahir batin luar biasa.
Ada yang menganggap penderitaan itu adalah bagian dari pengorbanan atas cintanya kepada sang suami, takdir, atau menyalahkan dirinya sendiri hingga tak mampu mengikat suaminya untuk senantiasa berada dalam dekapannya. Baginya hal tersebut dikarenakan keadaan memang memaksa dan syariat telah menggariskan (pembolehan).
Aisyah putri Abu Bakar cukup dikenal pecemburu. Ia kadang tak puas dengan posisinya sebagai istri terkasih. Rasa cemburu kerap muncul dari dirinya apalagi tatkala Rasulullah membawa istri baru. Padahal ia berpengalaman dalam hal itu sebab ia telah berkali-kali dimadu. Syahdan, Rasulullah kembali dari Khaibar. Kaum muslim mengalahkan suku Yahudi Bani Nadhir. Sebelumnya tersiar kabar bahwa Rasulullah telah menikahi seorang putri penguasa Bani Nadhir; Shafiyah. Faktanya, rasa cemburu tak dapat dibendung, Aisyah menyambut Rasulullah dengan rasa cemburu yang membara, sembari mengamati madunya. Rasulullah tertawa dengan sikap Aisyah tersebut. Tapi beliau tak lupa merayu, “apa yang kau perhatikan, cantik?” Aisyah menjawab ketus: “Aku melihat seorang perempuan Yahudi!” Rasulullah menyanggah, “Jangan berkata begitu. Ia sudah masuk Islam, dan akan menjadi muslimah yang baik.” Aisyah tak peduli. Ia bergegas pergi.
Shafiyah juga pernah menjadi bulan-bulanan istri-istri Nabi lainnya yang juga cemburu. Ia sering diejek “perempuan Yahudi”. Suatu hari, Shafiyah ikut serta dalam safari Rasulullah bersama istrinya yang lain: Zainab binti Jahsy. Di tengah perjalanan, unta Shafiyah cidera. Rasulullah membujuk Zainab agar berbagi punggung unta dengan Shafiyah. Zainab menolak sambil berkata, “aku harus berbagi dengan perempuan Yahudi itu?” Rasulullah murka. Konon, beliau tidak mendatangi Zainab dua-tiga bulan.
Memang, rasa cemburu adalah kodrat yang manusiawi. Perempuan yang dimadu bisa tunduk titah agama, namun mereka sulit untuk berlapang dada pada satu hal yakni: kodrat manusia (rasa cemburu dan tak mau berbagi). Tak luput istri-istri Rasulullah, apalagi wanita-wanita selain mereka. Yang menjadi masalah adalah, apakah kodrat dan keinginan manusia harus senantiasa terpenuhi? Jawabannya tentu tidak. Sebab berapa banyak ajaran-ajaran agama yang tidak sejalan –tampaknya- dengan keinginan manusiawi; seorang anak manusia. Akan tetapi sebagai suatu bentuk ketaqwaan adalah menerima ajaran-ajaran tersebut dengan lapang dada, begitu pula dengan hal poligami. Yang perlu dicermati bahwa memang rasa cemburu senantiasa melekat pada orang yang bercinta, rasa itu tidak ada hanya bagi mereka yang tak memiliki cinta, tak luput istri-istri nabi. Rasa itu bukan untuk dihilangkan. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana rasa itu tidak mengekploitasi keharmonisan kehidupan berpoligami. Sebab tak pernah terdengar atau terjadi kegoncangan yang dasyat dalam kehidupan berumah tangga Nabi dan para sahabat, yang konon sebagian besar mereka berpoligami.
Adapun kasus Ali bin Abi Thalib yang “katanya” ingin berpoligami juga harus diteliti ulang. Sebab kasus inilah yang terkadang menjadi bahan rujukan bagi mereka yang menolak mentah-mentah poligami. Hadis yang sering digunakan adalah sabda rasul; “
beberapa keluarga Bani Hasyim bin Al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga”. Nash inilah yang dijadikan landasan sacral dari pelarangan poligami yang mereka usung.
Dari nash ini ada beberapa hal yang perlu dikritisi,
pertama, sebenarnya hadis tersebut belum lengkap masih ada beberapa kata diakhir teks yang tidak dimuat mereka. Sebagaimana yang dinukil oleh Dr. Abdul Hamid Abu Zaid dari buku
“ bait at-thâ’ah wa ta’addud az-zaujât wa ath-thalâq fi al-Islâm” karya Dr. Abdul Wahi Wafi. Yakni perkataan
“Seseunggguhnya aku takut akan hal tersebut (poligami ali) menimbulkan fitnah dalam agamanya (Fathimah).” Jadi teks yang penukilannya belum lengkap tentu melahirkan polemik yang seharusnya tak terjadi. Pertanyaannya adalah, apakah Ali yang ingin berpoligami? Siapakah yang melamar? Siapa pula yang akan dijadikan istri kedua Ali? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya dijawab terlebih dahulu agar pemahaman yang dihasilkan tak timpang.
Sependek pengetahuan penulis tak ada nash yang menunjukkan bahwa yang ingin berpoligami adalah Ali. Jika begitu lalu siapa yang melamar? Yang melaamar adalah keluarga Bani Hasyim bin Mughirah. Selanjutnya siapakah gerangan perempuan tersebut? Dia adalah putrid Abu Jahal (musuh Islam). Lantas apa yang melatarbelakangi perkataan Rasul diatas? Ternyata hadis yang dipenggal tadi adalah jawaban dari pertanyaan ini,
“Seseunggguhnya aku takut akan hal tersebut (poligami ali) menimbulkan fitnah dalam agamanya (Fathimah).” Artinya, Rasul takut hal tersebut akan menjadikan Fathimah lalai dalam melayani suami yang merupakan kewajiban isteri, tentunya sikap tersebut tak pantas dilakukan oleh Fathimah sebagai puteri seorang rasul.
Pada gilirannya fitnah agama (lalai menjalankan perintah-Nya) akan menimpa Fathimah. Diamping alas an lain yang tak kalah penting adalah Rasul tak ingin puteri musuh Allah; Abu Jahl dan puteri Rsaul-Nya; Muhammad berkumpul dalam satu suami.
Argumen dari Kaum Anti Poligami
Patut disayangkan bahwa sebagian kalangan muslim di negara-negara Islam mengangkat suara vocal seraya mengultimatumkan bahwa tertutupnya pintu poligami secara mutlak. Mereka terus menerus mempropagandakan tentang keburukan poligami tanpa mendudukkan keadaan tersebut dengan hal-hal positif dari praktek ini. Ironisnya di saat yang sama mereka diam tak bicara atas kenistaan zina. sBahkan mereka berupaya untuk melegalkan ketidakbolehan poligami dalam undang-undang Negara. Celakanya, secara teoritis mereka berusaha mengatasnamakan syari'at dan berdalil dengan Al Qur'an dan sunnah yang diputarbalikkan.
Disamping itu meraka beralasan bahwa di antara hak pemerintah adalah melarang sebagian hal-hal yang diperbolehkan demi untuk memperoleh kemaslahatan atau menghindarkan kerusakan. Lebih dari itu mereka pun berani untuk berdalil dengan Al Qur'an atas pendapatnya. Seraya berkata “Sesungguhnya Al-Qur'an mensyaratkan bagi orang yang ingin menikah lebih dari satu untuk
memastikan bahwa dirinya akan mampu bersikap adil. Sehingga bagi siapa saja yang takut tidak bisa adil maka cukup dengan satu isteri.” Mereka beranggapan bahwa sistem poligami yang diatur Islam tidak manusiawi sebab tidak sesuai dengan semangat Islam itu sendiri yang mengayomi kehidupan wanita.
Dari tuduhan yang menyangkut dua ayat yang saling bertentangan dapat dikatakan bahwa pemahaman makna ayat sama sekali tidak harus demikian. Karena dalam kenyataan hukum hasil dari
istinbath para ulama menunjukan bahwa poligami merupakan jalan keluar atau
rukhshah (bentuk keringanan) bersyarat atas sebuah kebutuhan. Bukan menempati posisi utama dalam masalah pernikahan. Selain itu juga sebenarnya ayat pertama An-Nisa 3 merupakan dalil
‘âm dan An-Nisa’ yang kedua adalah
khâs(penjelasan atas keadilan yang dimaksud;keadilan zahir). Jadi dengan pemahaman seperti ini kedua nash tersebut dapat digunakan dengan menggunakan metode penggabung dua nash jika terlihat kontradiksi.
Adapun anggapan mereka bahwa merupakan hak atau wewenang pemerintah untuk mencegah hal-hal yang diperbolehkan demi untuk memperoleh kemaslahatan atau menghindarkan kerusakan harus ditelaah ulang. Sebab, sesungguhnya hak (wewenang) yang diberikan oleh syari'at kepada
waliyyul amri (pemerintah) adalah hak membatasi sebagian hal-hal yang mubah demi kemaslahatan yang lebih besar pada suatu waktu, dalam keadaan tertentu dan berlaku bagi sebagian orang. Hal ini bukan berarti apa yang dilarang pada waktu tersebut tak memiliki kemaslahatan. Artinya pelarangan tersebut tak bersifat mutlak atau selamanya, karena larangan secara mutlak -dan selamanya- itu mirip dengan "mengharamkan" yang hanya merupakan hak dan wewenang mutlak Allah SWT.
Sesungguhnya pembatasan terhadap hal-hal yang mubah (hukum yang diperbolehkan) telah terjadi sejak dulu. Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Umar bin Khattab. Beliau melarang menanam tanaman tertentu yang telah
over produksi seperti kapas di Mesir. Jadi para petani tidak boleh secara leluasa menanamnya melebihi biji-bijian (palawija) sebagai makanan pokok. Hal ini dengan pertimbangan kemaslahatn yang lebih besar. Juga, seperti pelarangan para jendral atau para diplomat Negara untuk menikah dengan wanita asing, karena takut terbongkarnya rahasia negara melalui wanita tersebut ke pihak lawan (negara lain). Jadi pelarangan poligami seperti yang mereka katakan bukanlah termasuk dari pembatasan hal-hal yang mubah sebagaimana yang telah dijelaskan tadi. Sedangkan anggapan mereka bahwa poligami merupakan sistem yang tak bermoral sunguh tidak benar. Sebab jika kita telusuri dengan seksama, sesungguhnya sistem poligami yang diatur dalam Islam adalah sistem yang bermoral dan manusiawi. Sebab, Islam tidak memperbolehkan laki-laki untuk berhubungan dengan wanita yang ia sukai kapan saja dan dimana saja di luar pernikahan. Dan membatasi hubungnya hanya dengan empat istri. Tak boleh berhubungan dengan satu dari empat tersebut secara rahasia, Prosesi aqad dan mengumumkannya merupakan suatu tuntutan, meskipun dalam jumlah yang terbatas. Bahkan harus diketahui dan disetujui oleh para wali perempuan tentang hubungan yang syar'i tersebut. Poligami juga manusiawi, karena ia dapat meringankan beban masyarakat yaitu dengan melindungi wanita yang tidak bersuami dan menempatkannya ke shaf para isteri yang terpelihara dalam pernikahan yang halal. Disamping anak-anak yang dilahirkan dari hasil poligami kemudian hidup di masyarakat sebagai hasil jalinan cinta yang suci. Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa poligami itu hanya akan menimbulkan kerusakan dan bahaya dalam rumah tangga dan masyarakat tidak benar, Sebab syari'at Islam tak mungkin menghalalkan sesuatu yang membahayakan umatnya, ia pun telah menimbang faktor kemaslahatan dan
mufsadah, antara manfaat dan bahaya, hingga Islam memperbolehkan praktek poligami bagi orang yang membutuhkan, mampu dan memberikan syarat tertentu yang harus dipenuhi. Memang benar ada sebagian suami kurang memperhatikan kewajiban bersikap adil, akan tetapi kesalahan orang perorang dalam pelaksanaan bukan berarti pembatalan prinsip (hukum) dasarnya. Karena jika prinsip ini tidak diterima karena hal tersebut, maka syari'at Islam akan terhapus secara keseluruhan.
Hukum Poligami
Seorang
ulama besar seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha sering dijadikan tameng bagi mereka yang menolak poligami. Seakan-akan memang Ia dan muridnya menolak dan anti poligami. Apalagi pada waktu itu Muhammad Abduh pernah berfatwa bahwa hukum poligami adalah haram.
Untuk mengetahui kebenaran argument yang mengatasnamakan Muhammad Abduh tersebut kita harus kembali ke kumpulan karya lengkap Abduh
“ Al-A’mâl Al-Kâmilah”. Jika karya tersebut dibaca dengan niat yang lurus secara perlahan dan dipahami dengan seksama, maka akan kita dapati bahwa tuduhan-tuduhan itu tidaklah benar. Ya, memang Muhammad Abduh mengatakan tatkala mengomentari ayat 129 dari surat An-Nisâ bahwa seorang wajib beristeri satu jika takut tak dapat berbuat adil kemudian dia (laki-laki) tersebut berterus terang bahwa keadilan tersebut tidak dapat ia terapkan.
Akan tetapi dalam kesempatan
yang sama ia mengatakan, hal berpoligami jika kezaliman benar-benar aman. Kehalalan ini seperti hal-hal yang dihalalkan syariat pada perkara lain, yang mana bias saja hukum suatu perkara ddilarang atau makruh. Kesemua itu tergantung pada kemaslahatan dan ketimpangan
(mafsadah) yang ada.
Ia pernah menulis tatkala mengomentari ayat ke 3
surat An-Nisâ, bahwa ayat tersebut tidak di-
naskh (hapus) menurut ijma’ (konsensus) ulama, maka wajib melaksanakannya sesuai dengan maksudnya selagi ada nash.
Sebenarnya masih banyak komentar Muhammad Abduh dalam hal ini, apalagi jika kita membaca tafsirnya
surat An-Nisa. Jadi sebenarnya ia tidak melarang dan mengharamkan praktek poligami secara mutlak dan tidak ada nash yang menunjukkan bahwa ia pernah berfatwa
tentang pengharaman poligami. Ia mengharamkan jika rasa adil itu memang dirasa sulit untuk diterapkan oleh mereka yang menginginkan poligami atau ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bias memenuhi hak-hak isteri dan dapat menyakiti serta mencelakakannya. Lalu apa hokum poligami itu sendiri? Kembali kepada nikah, jika kita lihat nikah, menurut fikih, memiliki predikat hukum yang beragam, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Maka menurut hemat penulis masalah predikat hukum poligami sama persis dengan predikat hukum yang melekat pada nikah. Semua itu tergantung situasi dan kondisi yang ditimbang dengan kemaslahatan dan kerusakan
(mafsadah) tentunya hal tersebut bermuara dari Al-Quran dan sunnah.
Hikmah Poligami
Diantara hikmah dari poligami adalah:
1. Poligami merupakan pemeliharaan dan pembelaan terhadap kaum wanita, terutama wanita tidak menikah dan janda, walaupun pelbagai pendapat muncul tapi kita tak bisa untuk lari dari kenyataan tersebut. Wanita memerlukan perhatian, kasih sayang dan perlindungan dari lelaki yang bernama suami. Bukan karena ia berstatus murah akan tetapi kelangsungan dan kesempurnaan hidup beragama akan sempurna melalui pernikahan. Apalagi jika jumlah bilangan lelaki yang dikatagorikan sebagai orang yang bertanggungjawab dan layak menjadi suami kian berkurang.
2. Keadaan masyarakat yang mengisyaratkan bahwa jumlah wanita lebih besar dari pria hanya memeberikan mereka tiga pilihan hidup. Pertama, menghabiskan usianya dengan mendara tanpa merasakan kehidupan berkeluarga dan menjadi ibu. Kedua, merauk belaian lelaki lewat pergaulan bebas. ketiga, dinikahi secara legal oleh lelaki yang mampu untuk memberikan nafkah dan mampu memelihara dirinya, sebagai istri kedua, ketiga atau keempat. Tampaknya jalan yang sesuai dengan fitrah mereka adalah jalan terakhir. Dan hikmah dari pembolehan poligami dalam Islam cukup terlihat jelas dalam hal ini.
3. Memberi penghargaan tinggi terhadap istri-istri pahlawan Islam yang gugur dengan menikahi istri-istri yang ditinggalkan tersebut. Hal ini terlihat dari pernikahan Rasulullah dengan Ummu Salamah dan Zainab putri Abdullah bin jahs yang gugur pada Perang Uhud. Juga menggalang persatuan umat hal ini ia lakukan lewat pernikahannya dengan Juwairiyyah Binti Al-Harits, pembesar Bani Mushtaliq. Adapun pernikahannya dengan Ummu Habibah (Ramlah Binti Abu Sofyan) merupakan penghibur baginya sebab pada waktu itu Abu Sofyan adalah penentang ajaran Islam.
4. Poligami murupakan suatu pertanggungjawaban sosial dan tuntunan agama yang digariskan Islam. Sebab poligami merupakan salah satu cara –bila diperlukan- dalam mengentaskan perbaikan umat dan menciptakan stabilitas umum.
Kesimpulan
Poligami adalah bukti kesempurnaan hukum Islam. Secara filosofis Islam mengamini praktek tersebut demi kemaslahatan. Poligami merupakan terapi sosial dalam menjawab masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat tertentu. Namun, poligami dalam Islam digunakan dengan penuh tanggungjawab, perhitungan dan bersyarat. Ukuran tanggungjawab tersebut direalisasikan lewat praktek adil. Bahkan merupakan suatu keharaman bagi lelaki untuk berpoligami jika tak dapat memenuhi tuntutan tersebut. Adapun kecacatan poligami yang sering dijadikan dalih bagi mereka yang menolaknya bukanlah bermuara dari segi prinsip poligami Islam itu sendiri. Akan tetapi lebih kepada perlaksanaannya oleh sesetengah lelaki yang kerap menyimpang dan tak mematuhi tuntutan serta landasan syariat. Sebab syarat yang ketat dalam undang-undang keluarga Islam bukanlah bertujuan mengharamkan poligami. Hal tersebut diatur dalam rangka menjaga ketenteraman rumah tangga dengan melakukan langkah-langkah prefentif agar penindasan dan kezaliman suami terhadap isteri tak terjadi. Sedangkan hak (wewenang) yang diberikan oleh syari'at kepada waliyyul amri (pemerintah) adalah hak membatasi sebagian hal-hal yang mubah demi kemaslahatan yang lebih besar pada suatu waktu, dalam keadaan tertentu dan berlaku bagi sebagian orang. Terkait dengan masalah poligami pengharaman secara mutlak tentulah tak dapat diterima dan satu kasus tak dapat digeneralisir untuk kasus yang lain, Sebab perkara poligami merupakan fenomena yang kasuistik, berbeda keadaan antar orang, waktu dan tempat. Wallahua’lam.
0 komentar:
Posting Komentar
Postkan Komentar Anda