Pembahasan pada bab ini menitik beratkan pada perkembangan sastra di eropa, dimana pembahasan mengenai hal tersebut meluas dan urgen serta tidak kalah pentingnya dari kritik sastra kontemporer. Melainkan keduanya menjadi nilai penyangga studi sastra dan kritik. Dan disiplin ilmu ini menjadi hal penting dalam kemunculan ilmu sejarah sastra serta sebagai penyempurna ilmu ini, hingga studi sastra membutuhkan ilmu ini untuk mempermudah dalam memahami studi (sastra) kontemporer beserta metode-metode pembahasannya.
Secara alamiah kemunculan studi sastra perbandingan menjadi sebuah disiplin ilmu diawali dengan kemunculan keragaman pendapat di dunia sastra. Atau adanya saling pengaruh mempengaruhi antar sastrawan, dan sastra perbandingan bukanlah ilmu pertama dari segala ilmu yang ada, khususnya ilmu kemanusiaan dan bahasa. seperti adanya antariksa sebelum kemunculan ilmu astronomi, dan kemunculan ilmu sosial dan jiwa didahului oleh adanya manusia masarakat sosial, dan jelas bahwa kemunculan ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) dan bahasa lebih dahulu dari ilmu Gramatikal dan bahasa pada bangsa-bangsa lainnya.
Diketahui bahwa awal pengaruh antara suatu sastra terhadap sastra lainnya, dimana pengaruh tersebut bernilai penting adalah pengaruh antara sastra yunani terhadap sastra romawi, pada tahun 146 S.M keruntuhan yunani disaksikan oleh orang-orang romawi namun bangsa romawi tetap mengikuti yunani baik pada peradaban dan sastra. Dan mayoritas sejarawan menyatakan bahwa romawi merupakan bagian dari yunani pada segi filsafatnya, tingkah laku manusia dan sastra secara umum. Dari itu semua bahwa yang diikuti oleh bangsa romawi dari yunani meliputi sastra, buku-buku, filsafat, kesemuanya itu terlihat dari sejarah sastra dan pemikiran bahkan dari sejarawan romawi sendiri. Dan pada sastra latin sendiri tidak ditemukan adanya pemikiran asli yang murni dari pengaruh sastra yunani.
Tetapi merupakan hal penting bahwa sesuatu yang berkembang ditangan para kritikus latin pada masa renaissance mengenai “taklid”, yakni bermakna taklid Romawi terhadap Yunani, dan ini merupakan makna lain dari “المحاكاة ” yang berbeda dengan penjelaskan Arisoteles ketika ia menerangkan hubungan antara sani secara umum dan prilaku.
Dan salah seorang dari kritikus romawi yang bernama Quintilian mencoba menjelaskan secara luas mengenai pandangan ini (“المحاكاة ”), dimana pandangan ini memiliki pengaruh baik pada tatanan kritikus hingga masa klasik. Dan dijelaskan beberapa kaidah umum mengenai “المحاكاة ”, Pertama, bahwa hubungan antara seni dan lingkungan merupakan landasan utama seni bagi penulis dan penyair. Kedua,“ taklid” bukanlah sesuatu yang sederhana, tetapi membutuhkan pendalaman terhadap ciri khas penya’ir yang di ikuti. Ketiga, bahwa taklid atau “المحاكاة ” hendaklah terlihat pada kalimat dan pengibaratan-pengibaratan sesuai dengan pembahasan-pembahasan utama dalam sastra dan metodologinya. Keempat, bahwa bagi siapa yang mengikuti Yunani hendaklah memilih permisalan yang termudah untuk diikuti, dan kendaklah ia memiliki kebijaksanaan yang melimpah untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, untuk mentransformasikan apa yang diikuti sesuai dengan kemampuannya. Terakhir seperti yang diungkapkan Quintilian bahwa “taklid” saja tidaklah cukup, maka janganlah serorang penya’ir berhenti (hanya bertaklid) ataupun merubah tanpa pemikiran yang tetap dan kuat.
Dan pada masa pertengahan yang dimulai sejak 1395 hingga 1453 M, sastra eropa mengalami kemunduran yang beragam disebabkan beberapa hal yang saling berkaitan, dibatasi sebagian perkembangannya serta dihubungkan antara sebagian dengan lainnya. Dan pandangan yang sepakat mengenai sastra dapat terlihat pada dua hal : pertama agama, bahwa kebanyakan para agamawan menguasai ( sastra), dan dari mereka pembaca dan penulis sekaligus. Kedua Memasukan nilai-nilai Al masih dalam sastra, dan bahasa latin itu sendiri menjadi bahasa ilmu dan sastra sebagaimana ia menjadi bahasa gereja.
Maka kedua hal yang saling berhubungan diatas menjadi kebiasaan umum untuk digunakan dalam kebanyakan hasil karya sastra eropa.
Dan sesuatu yang mungkin (kedua hal diatas) menjadi lapangan studi sastra perbandingan dalam membahas mengenai pengaruh-pengaruhnya secara umum. baik pengaruh agama masehi atau timur arab, tetapi berum ditemukan adanya pembahasan mengenai hal tersebut sepanjang periode itu, tetapi studi mengenai hal tersebut baru dilakukan di zaman kontemporer, ketika sejarah sastra dan kritik sastra mengalami kebangkitan.
Pada priode kebangkitan (abad 15, 16) sastra eropa mengarah kepada arah sastra kuno yakni sastra Yunani dan Romawi. Dan bangsa arab memiliki keutamaan pandangan terhadap nilai-nilai teks Yunani, dengan apa yang telah dilakukan dari penerjemahan filsafat yunani terutama filsafat “ Aristoteles”, maka para pembaharu eropa merujuk ke teks-teks (Yunani yang diterjemahkan oleh bangsa Arab) yang menggunkan bahasa asli, lalu mereka menetak teks-teks yunani tersebut, menerjemahkannya dan mengomentarinya. Keinginan untuk kembali ke sastra yunani dan romawi serta mengikutinnya disebabkan kekayaan pemikiran pada masa itu.
Pada masa renaissance para sastrawan kembali ke pendapat dan tradisi kuno baik tradisi Yunani ataupun Romawi, karna sastra pada masa ini lebih mengarah kepada permasalahan manusia dan kesulitan-kesulitannya, oleh karena itu sifat tuhan-tuhan masyarakat yunani lebih mirip manusia, maka gerakan ini dinamakan gerakan “nuzatul Insan”, dan amatlah penting bagi kita untuk mengetahu mengenai tradisi sastra sejak masa Horus hingga komentar Qintilian.
Dan penjelasan mengenai (“المحاكاة ”) lebih dijelaskan oleh “kelompok tsurya” dari perancis yakni kelompok yang terdiri dari 7 orang penya’ir yang hidup pada masa Henry II, dan mereka mengambil pandangan ini sebagai sarana untuk memperkaya bahasa perancis.
Diantaranya adalah seorang penya’ir bernama Dore (1508 – 1588 ) yang mengajarkan kepada para siswanya mengenai makna “المحاكاة ” secara praktek. Dan menerangkan kepada mereka bahwa setelah 500 tahun bangsa latin tidak memiliki tradisi kesusastraan dan kemudian mereka menjadi kaya dengan kesusastraan setelah bersentuhan dengan peradaban Yunani, dan Dore merupakan penyair yang diketahui pertama membahas mengenai sastra perbandingan.
Dan kritikus lainnya yakni Diablo berpendapat mengenai bahasa Prancis “bahwa tanpa adanya tradisi dari bahasa yunani dan romawi kita bangsa Prancis bahasa kita tidak akan dapat memberikan sesuatu seperti yang diberikan oleh orang-orang terdahulu”. Kemudia para sastrawan kontemporer dari Italia ketika mereka melihat para pendahulu berperdapat bahwa sebuah keharusan bagi para penya’ir untuk kembali ke teks-teks sastra kuno.dan mereka berpendapat bahwa menterjemah suatu karya sastra tidaklah cukup sehingga dapat memahami apa yang diterjemahkan dengan baik karna itu merupakan jalan untuk mentransformasi ciri khas karya sastra. Tanpa melihat cirri khas suatu karya sastra maka akan menjadi hampa nilai sebuah terrjemhan, dan diblo juga berpandangan bahwa “menterjemahkan suatu karya merupakan penghinatan, dan mengingkari nilai-nilai yang terkandung didalamnya, dan seruannya ini merupakan hal yang baik. Hingga seorang yang mempelajari suatu bahawa dapat memahami apa yang ia pelajari, hingga ia dapat memahami unsure-unsur seni yang terdapat pada suatu karya sastra. Dan inilh yang merupakan dasar dari dasar-dasar sastra perbandingan saat ini.
Dari pendapat para ahli bahasa diatas dipahami bahwa ketamakan mereka terhadap kebangkitan sastra merupakan hal yang membawa mereka membuka pusaka sastra kuno untuk mentradisikannya.
Dalam studi sastra perbandingan ditekankan janganlah pentradisian ini hanya dilakukan pada penulis dan penya’ir dalam bentuk yang sama. Karena pentradisian seperti ini membawa kepada kefakuman dan keterpurukan.
Dan Biltie berpendapat bahwa pentradisian bukan semata meniru, melinkan iamerupakan jalan untuk mendapatkan pengetahuan sebagai contoh yang baik untuk di ikuti bagi seorang penulis. Dan meniru semata tidaklah menghadilkan suatu karya yang bernilai melainkan merupakan kemalasn dan sedikitnya kesungguhan dengan mengikuti orang lain.
Dan kesempurnaan batasan-batasan teori tradisi ini menurut sastrawan klasik didasari oleh dua hal : mengagungkan warisan-warisan yunani dan mengikutinya, dan kewajiban mengeluarkan kesungguhan dalam memahami contoh-contoh yang diceritakan. Diantara pendapt mengtakan bahwa :” tidak akan dapat mencapai batas kesempurnaan dalam menulis, tidak akan mampu meski dengan kesungguhan yang sangat untuk melampaui para pendahulu, kecuali dengan tradisi.
Dan falsafat Italia pada abad ke-16 telah menyempurnakan pandangan aristoteles dalam “المحاكاة ”. dan dalam pandangan klasik yang perlu dilakukan : pertama memilih diantara contoh-contoh yang ada, dan membedkan antara yang baik dan yang buruk dari contoh, karna para pendahulu ……
Adsens Kiri | Adsens Kanan |
Ilmiah...
BalasHapusyo'i
BalasHapus