Adsense Atas
Beberapa waktu yang lalu, di suatu ruangan dari sebuah rumah yang bersebelahan dengan rumahku, tinggallah seorang pemuda yang berusia sekitar 19 – 20 tahun. Says mengira ia adalah seorang pelajar di sekolah tinggi atau menengah di Mesir. Kadang-kadang aku melihatnya dari jendela ruang kerjaku. Diantara tumpukan buku-buku di sebagian jendela kamar, aku melihatnya sebagai seorang pemuda yang pucat, meratap, lemah yang duduk di hadapan sebuah lentera yang terang di salah satu pojok kamar sambil melihat sepucuk surat, pesan singkat atau nampak sedang mengulang pelajaran. Aku tidak begitu mengerti tentang urusannya, sehingga setelah hari-hari itu datanglah hawa dingin pads pertengahan malam di musim dingin. Aku masuk ke dalam ruang kedaku untuk suatu keperluan, aku muncul di hadapannya yang sedang duduk, maka aku duduk di hadapan lenteranya, wajahnya tertelungkup diatas sepucuk surat yang terhampar di stns meja dihadapannya, saya mengira ia sakit karena kelelahan belajar atau tidak tidur semalaman. Kedua kelopak matanya mengisyaratkan bahwa ia kurang tidur, maka saya memintanya untuk bergegas ke tempat tidur dan meninggalkan tempatnya, belumlah saya beranjak dari tempat dudukku ketika ia mengangkat kepadanya, maka nampaklah kedua matanya yang sembab karena banyak menangis, air matanya jatuh di atas surat yang tergeletak di hadapannya, air matanya menetes satu persatu tidak terhapus dan lidahnya kelu dari kata-kata, ia tidak memperdulikan keadaannya ketika ia mengambil sebuah pens, lalu kembali ke keadaannya semula.
Keadaan ini membuatku sedih, di kegelapan dan ketenangan malam itu aku melihat seorang pemuda yang putus asa, miskin dan sendirian di dalam kamarnya yang terbuka, dingin, tak terlindung dari datangnya hawa dingin dengan selimut dan perapian, ia mengadukan kepada keduanya (selimut dan perapian) tentang kedukaan dan kesedihan hidup sebelum kedukaan dan kesedihan itu datang karena tidak ada yang metindungi dan menolongnya. maka aku mengira ada seseorang yang telah melukai, menyakiti dan memukul di antara tulang rusuknya yang membunuh jasadnya dan kehidupannya yang kacau balau. Aku belum beranjak dari tempatku dan tidak juga meninggalkannya, sehingga aku melihatnya menutup bukunya dan meninggalkan tempat duduknya, lalu naik ke tempat tidur. Kemudian aku pergi dalam kebingunganku. Malam hampir berlalu, tidak bersisa hitamya dalam lembaran fenomena ini kecuali sisa garis yang mendekat dan menjulurkan lisan fajar yang datang kepadanya.
Dan di malam-malam selanjutnya. Aku masih melihat pemuda ini, baik dalam keadaan menangis, mengetuk atau memukulkan kepala di atas dadanya atau menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur di antara rintihan yang sangat sedih seperti seseorang yang kehilangan anaknya, atau berduka di kamamya yang sempit dengan lukisan dindingnya yang telah usang. Sehingga apabila rasa sedih itu datang, ia terduduk di kursi sambil menangis dan menjerit, maka aku merasa iba dan menangis karena tangisannya, dan aku berharap jika aku bisa menjadi temannya dan paling tidak bisa merasakan kedukaannya. Aku tidak ingin mendatanginya secara tiba-tiba yang tidak membuatnya sedang, atau datang diam-diam yang hanya akan mendatangkan kesan di dalam hatinya, dan merahasiakan kepada semua orang. Sehingga datang kepadanya suatu malam yang sunyi, aku melihat kegelapan yang tenang, aku mengira ia keluar untuk suatu urusan. Aku belum beranjak hingga aku mendengar rintihan lemah berkepanjangan dari dalam kamarnya. Mendengar dan membayangkan hal itu, gku megiadi cemas keadaan itu yang muncul dari dalam lubuk jiwanya yang paling dalam, seolah-olah aku mendengar suara sedihnya dari dalam hatiku. Aku berkata pads diriku sendiri bahwa pemuda ini sedang sakit dan tidak seorangpun yang ada dan peduli keadaannya, maka hal ini telah sampai batasnya yang memaksaku untuk datang kepadanya. Kemudian aku meminta pelayanku untuk membawakan sebuah lentera, ketika aku sampai di rumahnya dan naik ke pintu kamamya, kegelisahan menyelimutiku ketika akan masuk ke dalamnya seperti seseorang yang sedang berdiri di pintu kubur yang berusaha untuk menuruninya untuk melepas penghuninya pada perpisahan yang terakhir. Kemudian aku masuk dan ia membuka matanya ketika merasakan kehadiranku. la seperti orang yang. bingung dan terkejut ketika melihat di depannya ada lentera yang kecil dan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, ia merasa canggung, tidak berbicara dan tidak juga berpaling. Lalu aku mendekati tempat tidurnya dan duduk di sampingnya. Lalu aku berkata "Aku tetanggamu yang menempati mmah ini, pads suatu waktu Aku mendengar Engkau berusaha keras untuk mengobati dirimu sendiri, maka aku tahu bahwa Engkau tinggal sendirian di kamar ini. Hal tersebut membuatku khawatir, maka Aku datang kepadamu agar aku dapat membantumu, apakah Engkau sakit? Lalu ia mengangkat tangannya perlahan ke dahinya, dan aku juga meletakkan tanganku di atas dahinya, aku merasakan panas dan aku sadar bahwa ia terserang demam, lalu aku mengedarkan pandanganku ke badannya, aku dapati ia layaknya seorang pemuda yang tidak berdaya yang nampak dari pakaian yang hampir tidak menutupinya, aku melihat bajunya yang lebar yang terbuat dari kulit yang menyelimuti badannya. Kemudian aku menyuruh pelayan untuk membawakan saya minuman obat untuk mengobati panas, kemudian aku merninurnkan obat itu kepadanya beherapa tetes. la pun bangun sedikit dan menatapku dengan pandangan yang sayu, lalu berkata "Terima kasih". aku berkata "Apa keluhanmu wahai Saudaraku?" ia menjawab "Aku tidak mengeluhkan apapun" lalu aku berkata "Apakah keadaanmu ini telah berlangsung lama? Ia menjawab "Aku tidak tabu" kemudian aku berkata "Engkau butuh dokter, apakah Engkau mengizinkan saya untuk memanggilnya untuk memeriksa keadaanmu? Lalu ia menarik nafas panjang dan memandang kepadaku dengan pandangan yang sedih dan berkata "Sesungguhnya yang membutuhkan dokter adalah orang yang lebih suka hidup daripada mati. Kemudian ia menutup matanya dan ia kembali terlihat bingung, dan aku tidak tahu apakah ia mengizinkan saya memanggil dokter atau tidak. Lalu aku memanggil dokter, ia datang dan mengeluh sambil marsh dan memberitahukan penderitaan sang pemuda di tempat tidurnya dan bebannya yang ter un ke dalam kiamat yang gelap pada malam-malam yang dingin. Aku tidak peduli sindirannya karena aku tahu cars berdalih darinya. Kemudian dokter itu memeriksa nadi pemuda yang sakit itu lalu berbisik di telingaku "Engkau akan menanggung resiko besar ini wahai Tuan, aku tidak menjamin hidupnya akan panjang kecuali dengan ilmu Allah yang kita tidak mengetahuinya. Kemudian ia duduk sebentar dan menuliskan sesuatu yang biasa dikirimkan pars dokter ke orang-­orang yang bekerja di apotik untuk diberikan sebagai denyut kehidupan bagi pasiennya. Lalu dokter itu pergi untuk rnengerjakan urusannya yang lain setelah aku mengemukakan alasan sebab yang membuatnya berkesan dan memakluminya. Kemudian aku berdo'a dan duduk di samping si sakit pada malam di malam malam yang melupakan bintang jauh diantara dua sudut, sesekali aku meminumkannya obat, dan di lain waktu aku menangis sampai terbit cahaya fajar. Lalu ia bangun dan mengedarkan pandangannya di sekeliling tempat tidurnya sehingga, ia melihatku dan berkata "Ands masih di sini? Aku menjawab "Ya, dan aku berharap keadaanmu akan lebih baik dari sebelumnya" ia berkata "Aku juga berharap demikian, lalu aku berkata "Apakah Engkau mengizinkan aku bertanya siapa. Engkau? Mengapa Engkau tinggal sendirian di tempat ini? Apakah Engkau orang asing atau penduduk asli di negeri ini? Apakah Engkau mengeluhkan penyakit yang nyata atau yang rahasia? Ia berkata "Aku mengeluhkan keduanya" aku berkata "Apakah Engkau bisa menceritakan keadaanmu dan berbagi kedukaanmu kepadaku seperti seorang teman kepada temannya. Aku menjadi penolong dalam urusanmu, apakah Engkau membantu dirimu sendiri? la berkata "Apakah Tuan mau merahasiakan urusanku jika Allah sendiri telah memberikan kehidupan kepadaku dan menunaikan wasiatku jika terjadi sesuatu yang lain? Aku menjawab "Ya" ia berkata " Tuan telah berpegang dengan janji Tuan, maka sesungguhnya orang mulia jika memiliki hati mulia seperti Tuan, tidak berbohong dan tidak menipu.
Aku Fulan bin Fulan, telah lama ayahku wafat dan meninggalkanku di usia enam tahun dalam keadaan miskin tidak memiliki harta apapun di dunia ini. Lalu pamanku Fulan yang menanggung hidupku. Ia adalah seorang paman yang terbaik, mulia, banyak kebaikannya, besar kasih sayangnya. Ia memberikanku tempat tinggal di sisinya yang sebelumnya tidak ia berikan kepada seorangpun kecuali kepada anak perempuannya. Anak perempuannya itu kira-kira seumuran denganku atau sedikit lebih muda. Alangkah senang hatinya ketika melihat anak perempuannya mendapadat saudara laki-laki seperti yang ia mohon kepada Allah dalam waktu yang sangat lama, maka terkabullah permintaanya, dan ia memberikan perhatian kepadaku seperti perhatiannya kepada anak perempuannya. Paman memasukkan kami ke sekolah di hari yang sama, aku sayang kepadanya seperti rasa sayang seorang saudara kepada saudara perempuannya dan aku sangat mencintainya. Aku mendapatkan kebahagian dan kesenangan di dalam keluarganya yang tidak akan hilang beserta kesedihan yang biasanya menyertaiku setelah kematian kedua orang tuaku dari waktu ke waktu. Seseorang tidak melihat kami kecuali dua orang yang pergi ke sekolah atau pulang dari sekolah, bermain di halaman rumah atau bersuka ria di tarnannya, bersama-sama di ruang belajar, bercerita di tempat tidur. Sehingga sampailah pada hari hUab (berpisah karena sudah dewasa) kami dan sudah seharusnya aku berpisah dengannya dan meneruskan belajar (studi)ku.
Dan cinta benar-benar telah mengikat hatiku dan hatinya yang tidak akan menggantikannya kecuali kematian. Aku tidak melihat kesenangan hidup kecuali apabila berada di sisinya, aku juga tidak melihat cahaya kebahagiaan kecuali dalam fajar senyumannya, dan tidak suatu saatpun juga aku terkesan dengan semua kelezatan hidup dan panggung-panggung kehidupan kecuali di sampingnya. Kadang-kadang aku tidak menginginkan melihat rangkaian rangkaian kebaikan dalam diri seorang pemudi dari adab, kecerdasan, kelembutan, kasih sayang, terjaga diri, kemuliaan, ataupun amanah, kecuali semua itu aku dapatkan dalam dirinya.
Dalam kelam membinasakan ini yang berasal dari kedukaan dan kesedihan, aku bisa melihat dalam diri seorang hamba, sayap-sayap cahaya yang putih dari kebahagiaan yang menaungi kami pada masa kanak-kanak kami yang muncul dari diri kami seperti terbitnya kebahagiaan pada puncaknya. Aku membayangkan sebuah taman yang kaya sebagai tempat hiburan, kesenangan, dan panggung cita-cita kami, seolah-olah taman itu hadir di depanku, aku melihat kilauan kasihnya, kesuburannya, rindang pohonnya, warna-warni bunganya, tempat duduk dari batu yang kami duduki pada saat menjelang siang, kami bersama bercerita hal-hal yang menarik bagi kami, atau kemampuan kami dalam merangkai bungs-bunganya atau buku yang kami balik lembaran­-lembarannya, atau kami berlomba dalam menyelesaikan lukisan. Dan tunas-tunas yang hijau tempat kami bernaung ketika kami menyelesaikan perlombaan kami, maka kami merasakan spa yang dirasakan oleh anak-anak burung yang berlindung dalam benteng induknya, dan lobang-lobang kecil yang kami bunt dengan kayu di atas pantai berpasir dan berbatu, lalu kami mengisinya dengan air. Kemudian kami duduk berkeliling untuk berburu ikan-ikannya yang kami dapatkan dengan kedua tangan kami. Kami gembira apabila kami menemukan sesuatu di pantai itu seakan-akan kami mendapatkan harta yang banyak. Dan sangkar-sangkar emas yang indah yang di dalamnya kami pelihara burung-burung, lalu kami menghabiskan waktu yang lama di sisi mereka, kami kagum melihatnya dan kagum melihat paruhnya yang hijau, sesekali mereka menghisap air lalu mengeluarkannya, kami panggil mereka dengan nama-nama yang kami berikan, apabila kami mendengar suara dan kicauannya, kami mengira ia menjawab panggilan kami. Aku tidak menyadari jika aku menyembunyikan dalam diriku suatu perasaan selain cinta dan persaudaraan kepada anak pamanku itu, ada cinta yang menyala-nyala. Tetapi aku sadar bahwa rasa itu tidak akan terwqjud dan tidak dapat diharapkan. Seharipun aku tidak mengatakan bahwa aku mencintainya, karena aku sadar ia adalah anak pamanku dan teman masa kecilku, (jika demikian) maka aku adalah orang yang pertama menorehkan luka di hatinya, dan tak seharipun aku sanggup untuk menyambung rangkaian kehidupanku dengan rangkaian kehidupannya, karena aku tahu kedua orang tuanya tidak akan bermurah hati memberikannya kepada seorang pemuda miskin sepertiku, dan tak sesaatpun aku berusaha untuk jatuh cinta kepadanya seperti yang diharapkan oleh orang-orang yang jatuh cinta, karena aku adalah alasannya untuk tidak menempatkannya dalam pilihan itu, dan tidak seharipun aku berpikir di balik pandangannya untuk menyembunyikan cinta kepada dirinya agar mengetahui perasaan yang aku alami sebelumnya, apakah perasaan sebagai saudara yang membuatku puas, atau perasaan sebagai kekasih maka aku akan bertumpu kepada harapannya di atas harapan kedua orang tuanya. Tetapi cintaku kepadanya adalah cinta seorang rahib yang diuji dengan hidangan yang terlukis di depannya yang ia agungkan tapi tidak datang kepadanya, sedangkan ia dalam keadaan berpuasa.
Keadaan ini masih terus berlangsung sehingga sampai suatu saat pamanku terserang penyakit yang sulit disembuhkan sampai ia kembali ke sisi tuhannya. Pada saat-saat terakhir kehidupannya, ia berkata kepada istrinya, dan ia berprasangka baik kepadanya "Kematianku sudah di ambang waktu, maka uruslah anak muda ini, dan berperanlah baginya sebagaimana aku berperan sebagai ayahnya, dan aku wasiatkan kepadamu agar anak muda tidak pergi setelah kematianku kecuali saya kembali". Tidaklah berlalu hari-hari kesedihan ini sampai saya melihat wajah-wajah dan pemandangan-pemandangan yang aneh, keadaan yang asing yang belum kualami sebelumnya, maka datanglah duka dan lara, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan sebagai orang asing di rumah ini dan menjadi orang yang terusir dari alam ini.
Pada suatu pagi aku sedang duduk di kamarku, kemudian masukiah seorang pelayan. la adalah seorang wanita yang sholehah dan ikhlas, ia memberitahukan suatu rahasia keluarga yang begitu memalukan. la berkata" says kira Tuan, nyonya telah bertekad untuk menikahkan putrinya dalam waktu dekat ini, ia mengharapkan agar Engkau tetap berada di sisinya setelah ayahnya meninggal sampai usia kalian berdua saat ini, barangkali Engkau akan mengurus pada waktu ia dilamar. Ibunya ingin menjadikanmu sebagai wali dalam pernikahannya yang mana ia telah tinggal bersamamu sejak kecil. la berharap Engkau pindah ke rumah yang lain di antara rumah-rumahnya yang Engkau pilih untuk dirimu sendiri, di sana Engkau melakukan semua urusanmu seakan-akan Engkau tidak berpisah dengannya".
Seolah-olah aku bersandar kepada anah panah yang rapuh lalu dan dengan itu aku sumbat kepedihanku, tetapi aku tetap mencoba untuk tegar, aku berkata' Akan aku lakukan insya Allah, meskipun aku tidak suka. Lalu ia pergi dan aku menghibur diriku sendiri dan meretas jalan kenangan yang jika Allah menghendaki aku akan menemuinya lagi, sehingga datanglah malam, kemudian aku mengambil tas dan meletakkan pakaian-pakaian dan buku-buku yang aku miliki ke dalamnya. Aku berkata kepada diriku sendiri "Setiap yang membuatku bahagia dalam hidup ini adalah hidup di sisi orang yang aku cintai dan ia mencintaku juga, tejalin kebersamaan di antaraku dan dia dan tidak ada kekhawatiran kepada apapun setelah itu".
Kemudian aku pergi dari rumah tersebut, kepergian yang tidak diketahui sebabnya oleh siapapun, aku menikahkan anak pamanku tersebut sebelum pergi kecuali aku sekali memandang di antara kelelahannya yang tidur di atas tempat tidumya, dan itulah akhirku dengan dia.
Demi umurmu, tidaklah aku meninggalkan Baghdad dari pikiranku
Jika kita mendapatkan malapetaka dari perpisahan ini
Cukuplah kesedihan yang tidak bisa aku lepas darinya
Dan cukuplah panggilan yang tidak aku ucapkan dengan diamnya
Begitulah, maka aku tinggalkan rumah yang di mana aku pernah berbahagia pada suatu masa, laksana Adam yang meninggalkan surganya. Aku pergi dalam keadaan terusir, terkucilkan dan kebingungan yang telah berwujud menjadi kedukaan dan kesedihan. Perpisahan yang tidak ada pertemuan setelah itu, kefakiran yang tidak ada kemuliaan sebagai temannya, dan keterasingan yang tidak seorangpun menjadi pelindung dan penolong.
Dalam diriku muncul kerinduan kepada apa yang tersisa dari kenangan akan kesenangan yang telah pergi itu, aku jadikan kemiskinan sebagai batu sandungan yang utama yang tidak bisa aku tinggalkan sesaatpun. Aku bertekad untuk pergi untuk mendapatkan obat duka dan sedih untuk diriku dalam cahaya Allah dan keluasan cakrawalanya. Aku berjalan dalam perjalanan yang panjang dalam beberapa bulan, aku tidak pernah tinggal di suatu negeri pun sehingga diriku memaksaku untuk pergi ke negeri yang lain, dan tidaklah muncul ketenangan dalam diriku sampai batas akhimya yang menyerupai ketenangan air mata yang menggantung di pelupuk mata, tidak mengalir, dan tidak pula surut.
Aku puas dengan hal itu. Dan saat masuk sekolah telah tiba, lalu aku kembali. Aku bertekad untuk hidup di alam ini sendiri laksana bersama-sama, hilang laksana ada, dan jauh laksana dekat. Aku menikmati keadaan ini, aku berusaha untuk melupakan masa lampau dengan menghindari tempat tinggalnya dan pemandangan-pemandangannya. Dan sebaiknya aku berjalan hanya di antara kamar dan sekolahku dan tidak meninggalkan keduanya, tidaklah tersisa kenangan dalam diriku tentang masa lampau kecuali kesejukan yang mengisi hatiku dari waktu ke waktu, aku bersandar kepadanya melalui tetesan-tetesan air mata yang aku tuangkan dalam kesendirianku, tidak ada yang mengetahuinya apa yang teradi dengan diriku kecuali Allah, aku mendapatkan kesejukan diam dalam dadaku.
Untuk sesaat keadaanku masih seperti itu sehingga kemarin aku kembali ke masa di mana aku masih terkenang, ia meresap atau mengadu, maka aku terpaksa untuk hidup lebih keras, dan memberikan keadilan untuk sekolahku. Sekolah di negeri ini laksana kedai runtuh yang tidak menjual dagangan berharga, Dan ilmu di umat ini adalah jualan yang dijual oleh orang, bukan merupakan pemberian yang diberikan oleh orang-orang yang baik. Aku sedih, dan aku tahu kalau aku masuk ke dalam suatu paceklik, dan aku tidak mengetahui jalan dan cara untuk mencari makan. Maka aku hanya bergantung kepada buku-bukuku yang tersisa yang tidak mencukupi apapun, lalu ada seseorang yang datang, temyata ia adalab pelayan yang pemah melayaniku di rumah pamanku. Aku berkata "Fulanah? la menjawab "ya", lalu aku berkata "Apa yang Engkau inginkan? la menjawab "Ada sesuatu yang hendak aku sampaikan kepadamu, izinkan aku (untuk menyampaikannya). Kemudian ia dan aku masuk ke kamarku, dan ketika kami diam sejenak, lalu aku berkata, silahkan la berkata " sudah tiga hari aku mencarimu di setiap tempat tapi tidak ada seorangpun yang menunjukkan keberadaanmu sehingga setelah putus asa aku bisa menemuimu. Lalu ia menangis dengan suara yang keras. Tangisannya membuatku tersentuh, kemudian aku khawatir telah terjadi sesuatu di rumah yang pemah aku diami, lalu aku bertanya "Mengapa Engkau menangis? la menjawab "Apakah Engkau tidak mengetahui apapun tentang kabar dari anak pamanmu? Aku menjawab "tidak, bagaimana kabarnya? Lalu ia mengambil selendangnya dan mengeluarkan sebuah surat, kemudian aku ambil surat itu dan aku buka sampulnya, rupanya surat itu adalah tulisan anak pamanku, lalu aku membaca kata­-kata yang masih aku hafal hingga saat ini ("Engkau meninggalkanku dan tidak berpesan kepadaku, aku bisa memaafkanmu untuk itu. Sedangkan hari ini aku telah berada di pintu kubur, maka aku tidak bisa memaafkanmu jika Engkau tidak datang untuk memberikan pesan yang terakhir kepadaku").
Lalu surat itu aku lepas dari tanganku dan bergegas menuju pintu, tapi pelayan itu menarik bajuku dan bertanya "mau kemana Tuanku? Aku menjawab "la sedang sakit, tidak ada yang bisa menggantikanku untuk menolongnya. la diam sejenak kemudian berkata dengan suara yang pecan dan gemetar "Jangan lakukan itu wahai Tuan, takdir telah mendahuluimu"
Dari sana aku merasakan bahwa hatiku telah meninggalkan tempatnya ke suatu tempat yang tidak aku ketahui, lalu takdir berputar beserta bumi dengan putaran yang menjatuhkan jejaknya di tempatku, aku tidak merasakan apapun di sekelilingku, aku tidak sadar beberapa saat. Aku membuka mataku ketika malam telah menaungiku, sedangkan pelayan itu masih berada di sampingku sambil menangis dan meratap. Lalu aku mendekatinya dan berkata "apakah wanita itu yang Engkau bicarakan? la menjawab "Ya". Ceritakan kepadaku tentang segala sesuatunya? Lalu ia mulai bercerita:
"Tuanku, sesungguhnya anak pamanmu itu tidak peduli lagi dengan dirinya setelah kepergianmu. Ia bertanya kepadaku pada saat Engkau pergi tentang sebab kepergianmu itu, lalu aku menceritakan tentang isi surat yang aku bawakan kepadamu dari istri pamanmu dan tidak lebih dari apa yang ia katakan: ("Apa yang menyebabkan kepergian pemuda yang lemah dan miskin ini, mereka tidak mengetahui apapun mengenai urusannya dan urusanku") kemudian tidaklah hilang ingatan dalam pembicaraan pendeta dan manusia seolah-olah ia mengobati dirinya yang sakit berkepanjangan, hari-hari selanjutnya adalah hari di mana sakit dalam jiwanya menyerang raganya, keadaannya menjadi susah, air kecantikannya pudar, dan senyum segamya yang sebelumnya telah menyertainya kini telah redup. Kemudian ia terbaring sakit di tempat tidumya, dan tidak seharipun ia pulih sehingga ia terbaring berhari-hari. Ibunya menjaganya dan menuturkan perkara mengenai pemikahannya yang selalu temgiang pada siang dan malamnya, dan tidaklah dokter maupun pembesuk yang datang kecuali ia(ibunya) meminta tolong kepada mereka. Perlahan-lahan pemudi ini telah mendekati pintu kuburnya. Akupun tidak tidur semalaman di samping tempat tidumya sejak malam-malam itu. Ketika aku merasakan ia bergerak di pernbaringannya, aku mendekat lalu ia memberi isyarat agar aku memegang tangannya, segera saja aku lakukan dan membantunya untuk duduk. la bertanya "Jam berapa sekarang" aku menjawab "di penghujung malam" ia bertanya lagi, "Apakah Engkau sendirian di sini? Aku menjawab "Ya, semuanya telah tidur" Ia bertanya lagi "Apakah Engkau mengetahui di mana keberadaan anak pamanku sekarang? Aku terkejut dengan kalimat yang belum pemah aku dengar sebelum hari ini, lalu aku berkata "Tidak wahai Tuanku, says tidak mengetahui keberadaannya, kami juga tidak mengetahui sesuatupun (tentangnya), tetapi aku merasa prihatin terhadap seuntai harapan tipis yang tersisa dan akan terputus dengan terputusnya batas akhir ajalnya. la berkata : "Maukah Engkau membantuku untuk mengantarkan sepucuk surat ini kepadanya karena tidak ada seorangpun yang mengerti keadaanku? Aku menjawab: "Saya tidak senang (Engkau berkata seperti itu) wahai Tuanku... ia memberi isyarat agar aku membawakan alat tulisnya, lalu aku penuhi permintaannya kemudian ia menuliskan surat ini untukmu seperti yang Engkau lihat ini. Tidaklah datang waktu fajar ketika kumpulan manusia keluar mencarimu di setiap tempat dan aku menyapa orang-orang yang makan slang dan istirahat agar aku dapat melihatmu dan melihat orang yang memberikanku petunjuk kepadamu, tapi aku tidak mendapatkan tanda apapun sehingga matahari telah condong ke tempat peraduannya, lalu aku kembali ke rumah, dan datanglah kabar kematian. Sungguh mawar yang mekar itu yang penuh dengan keindahan dan kecantikan, daunnya yang terakhir telah gugur, aku berduka atas kematiannya laksana kedukaan orang yang kematian anak satu-satunya. Dan tidak ada lagi hari-harinya yang penuh dengan tangisan dan tangisan.
Dan yang paling menyedihkanku adalah apa yang ia harapkan di detik-detik akhir kehidupannya agar ia bisa melihatmu. Simalah harapan itu dan ia gugur dengan angan-angan yang sirna. Aku masih menyembunyikan tentang surat ini dan aku masih menapaki jalan sampai aku menemukanmu.
Lalu aku berterima kasih atas apa yang ia lakukan, kemudian aku mengizikannya untuk pergi lalu ia pergi..... aku sendirian sehingga aku merasakan awan hitam jatuh di atas mataku sedikit demi sedikit, hingga menutupi pandanganku terhadap segala sesuatu. Lalu aku tidak menyadari apapun setelah (kejadian) itu sampai aku bertemu denganmu.
Kisah (pemuda) ini tidak hanya sampai di situ, sehingga terdengar detakan yang tercerai berai yang memenuhi relung hatinya, menjadi kegundahannya. Lalu aku mendekat kepadanya dan bertanya :"Ada apa wahai Tuanku? la menjawab:"Aku hanya meminta setetes air mata yang bisa membuatku lega, tapi aku tidak mendapatkannya.
Lama aku terdiam, dan aku merasakan penderitaannya yang aku dengar dan kalimat-kalimatnya ketika ia berucap: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku asing di dunia ini, tidak ada tempat bersandar dan kekuatanku di dalamnya. Aku fakir tidak memiliki apapun di kehidupan dunia ini, aku tidak mampu bersandar kepada diriku sendiri. Sesungguhnya aku ini lemah dan merintih, tidak mengetahui jalan dan cara untuk menuju ke pintu-pintu rezekimu. Dan beban yang menimpa hatiku telah aku padamkan hingga tidak ada darah yang tersisa. Aku malu untuk menengadahkan kedua tanganku kepada jiwa yang telah Engkau panggil dengan tangan-Mu dari sisiku, aku pisahkan dari tempatnya dan kusampaikan kehadapan-Mu dengan murka dan dendam. Maka selesaikanlah urusan ini dengan Langan-Mu, dan aku akan mengembalikan titipan ini kepada-Mu, dan pindahkanlah ia ke rumah kemuliaan-Mu, sebaik-baik rumah adalah rumah-Mu, dan sebaik-baik tempat adalah di sisi-Mu".
Kemudian aku pegang kepalanya, seakan-akan ia berusaha untuk mencari jalan keluar. la berkata dengan suara yang lemah "Aku merasakan kepalaku terbakar dan hatiku meleleh, aku mengira tidak akan bisa bertahan lagi. Apakah Tuan mau berjanji untuk menguburkanku bersama di dalam kuburnya dan menguburkan suratnya bersamaku jika Allah telah menetapkan takdimya? Aku menjawab-. "Baiklah, dan aku berdo'a kepada Allah untuk keselamatanmu" ia berkata: Sekarang aku bisa meninggal dengan jiwa yang suci dari apapun. Lalu ia pun meninggal.
Sungguh, pemuda yang lemah dan miskin ini telah menghilangkan sukacitaku, aku melaksanakan wasiatnya seperti yang ia minta, aku berusaha untuk menguburkannya bersama anak pamannya, dan aku menguburkan surat itu bersamanya sesuai dengan janjiku agar aku menjaganya, maka pupuslah ia(pemuda) untuk menjawab panggilannya ketika ia hidup, ia memenuhi panggilannya dalam keadaan mati.
Demikianlah, dua orang sahabat yang saling menjaga ini bertemu di bawah satu atap, hidup mereka sempit oleh penderitaan dalam kebersamaan yang singkat. Kemudian aku lapangkan lubang kubur setelah kematian mereka berdua.
>>Karya Musthofa Luthfi al Manfaluthi
Adsens Kiri Adsens Kanan

0 komentar:

Posting Komentar

Postkan Komentar Anda

 
Note & Pena © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top