Adsense Atas
Islam menempatkan harta – atau dalam bahasa Arab disebut mal yang berarti condong – sebagai kebutuhan essensial (al-dlaruriyat) bagi kehidupan manusia. Ketika seseorang susah makan, maka ia bisa melakukan apa saja yang secara umum negatif, hanya sekedar untuk dapat menutupi kebutuhan dasarnya itu. Atau bahkan dapat menggadaikan atau menjual akidah/agamanya. Rasulullah saw wanti-wanti kepada umatnya “ كاد الفـقـر أن يكـون كـفـرا ” artinya “nyaris orang fakir itu menjadi kafir”.
Zakat merupakan ibadah dan kewajiban sosial bagi para aghniya’ (hartawan) setelah kekayaannya memenuhi batas minimal (nishab) dan rentang waktu setahun (haul). Tujuannya untuk mewujudkan pemerataan keadilan dalam ekonomi. Sebagai salah satu aset - lembaga - ekonomi Islam, zakat merupakan sumber dana potensial dan strategis bagi upaya memberdayakan ekonomi dan kesejahteraan ummat. Karena itu al-Qur’an memberi rambu agar zakat yang dihimpun disalurkan kepada mustahiq (orang yang benar-benar berhak menerima zakat).
Jika zakat merupakan sadaqah wajib, maka infaq dan sadaqah adalah pemberian sebagian harta atau rizqi yang kita peroleh untuk saudara-saudara kita yang sangat memerlukan. Karena Islam tidak menyukai, apabila harta itu hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja.
Dalam soal manajemen, ada pengalaman yang menarik bahwa pada awal Islam, zakat dikelola negara / pemerintah. Pendapat demikian memang dapat diperdebatkan. Kalau Rasulullah saw. diposisikan sebagai Nabi dan Negarawan (the Prophet and Statesmen) maka keberadaan beliau selain sebagai pemimpin agama, juga sebagai pemimpin negara dan pemerintahan. Tidak salah orang yang berpendapat bahwa Islam adalah agama dan negara (al-Islam huwa al-din wa al-daulah).
Praktik semacam ini diteruskan pada masa Khulafa’ al-Rasyidin. Pada masa Abu Bakr al-Shiddiq, warga yang enggan membayar zakat diperangi. Beliau merasa wajib untuk mengefektifkan penghimpunan zakat. Karena jika ini dibiarkan dapat menjadi preseden buruk pertama, yang dapat menghapus kepercayaan masyarakat kepada amil (panitia pengelola zakat).
Memang kenyataannya yang berkembang dalam sejarah, bahwa pemerintah sebagai pengelola zakat, mengalami pergeseran. Boleh jadi karena kepercayaan kepada pemerintah yang menurun, atau karena faktor lain. Karena itu yang terpenting adalah bahwa siapapun yang dapat melaksanakan ketentuan zakat, memanaj dengan baik, dan dapat mencapai tujuan dan sasarannya, sepanjang prinsip amanah, transparansi dan akuntabilitasnya dijadikan prinsip, maka harus didukung.

Zakat dan Macamnya

1. Pengertian, Dasar dan Hukumnya

Zakat secara harfiah artinya bersih, meningkat, dan berkah. Secara istilah, zakat adalah sebagian (kadar) harta dari harta yang memenuhi syarat minimal (nisab) dan rentang waktu satu tahun (haul) yang menjadi hak mustahiq (penerima zakat).
Hukumnya wajib, karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya untuk membantu mereka yang berhak. Zakat juga rukun (tiang) Islam. Dasarnya, perintah Allah dalam al-Qur’an. Kata zakat dalam berbagai bentuk dan konteksnya disebut dalam al-Qur’an sebanyak 60 kali, 26 kali disebut bersama-sama dengan salat. Ini menunjukkan bahwa ibadah salat dilaksanakan idealnya dimanifestasikan ke dalam pembersihan diri dan harta untuk membantu mereka yang mengalami kekurangan.
Beberapa dasar yang memotivasi untuk mengeluarkan zakat, infaq dan sadaqah di antaranya adalah :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من أعـطاها مؤتجرا فـله أجره ومن منـعها فإ نا أخذوها وشطر ماله عـزمة من عـزمات ربنا لا يحل لآل محمد منها شيىء . رواه احمد والنسائى وابو داوود

“Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa memberikan (zakat)nya, dengan mengharap pahala (dari Allah), maka baginya pahalanya, dan barang siapa menolaknya maka sesungguhnya kami, megambilnya dan separoh hartanya sebagai kewajiban dari kewajiban Tuhan kami, tidak halal bagi keluarga Muhammad sama sekali dari zakat itu”. (HR. Ahmad, al-Nasa’I, dan Abu Dawud).

2. Hikmah Zakat 

Wahbah al-Zuhaili menyatakan bahwa adanya kesenjangan antara manusia yang satu dengan lainnya baik dalam perolehan rizqi, pemberian, dan perolehan mata pencaharian, adalah sesuatu yang nyata, sebagai sunnatullah (hukum alam). Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Nahl, 17:71 “Dan Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dalam rizqi…”. Karena itu Allah mewajibkan kepada yang kaya untuk memberi kepada yang fakir sebagai kewajiban, bukan sunnah, dan juga bukan pemberian biasa. Di sinilah relevansi QS. Al-Dzariyat, 51:19 “ وفى أمـوالهم حق للسائل والمحروم ” artinya “dan dalam harta mereka terdapat hak bagi orang yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”.
Islam menganjurkan kepada pemeluknya agar supaya mencari rizki sebanyak-banyaknya dengan cara yang halal. Karena dengan demikian, mereka yang kaya dapat membantu kepada yang fakir dan miskin, baik dengan cara yang wajib seperti zakat, maupun cara yang sunnah, seperti sadaqah dan infaq.
Masih menurut Wahbah al-Zuhaili (1997:1790), ada empat hikmah utama zakat, yaitu sebagai berikut :

1). Memelihara harta dan membentengi dari pandangan mata dan tangan panjang orang-orang pendosa dan durhaka. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw :
حصنوا أموالكم بالزكاة ودا ووا مرضاكم بالصـد قة و أعـد وا للبـلاء الد عـاء رواه الطبرانى0
“Peliharalah harta kalian dengan (menunaikan) zakat, obatilah sakitmu dengan sadqah, dan bersiap-siaplah pada cobaan dengan do’a”. (HR. al-Thabrani).

2). Menolong orang-orang fakir yang membutuhkan, dengan tangan-tangan mereka untuk memulai pekerjaan dan kesungguhan sekiranya mereka mampu, membantu mereka untuk menempatkan kehidupan yang mulia jika mereka lemah. Dengan demikian masyarakat akan terjaga dari penyakit fakir atau kekurangan, dan negara dari kebodohan dan kelemahan. Masyarakat harus bertanggungjawab untuk menanggung mereka yang fakir dan mencukupi mereka. Rasulullah saw bersabda :

إن الله فرض على أغنياء المسلمين فى اموا لهم بـقد رالذى يسع فـقراءهم ولن يجهد الفـقـراء اذا جاعـوا او عـروا الا ما يصنع أغنياؤهم ألا وان الله يحاسبهم حسا با شد يدا ويعـذ بهم عذابا أليما ر واه الطبراني

“Sesungguhnya Allah mewajibkan bagi orang-orang Islam yang kaya pada harta mereka sekadar untuk melonggarkan orang-orang fakir (di antara) mereka, dan tidak akan berjuang orang-orang fakir ketika mereka lapar atau telanjang kecuali apa yang dilakukan orang-orang kaya mereka, ingat dan sesungguhnya Allah akan menghisab mereka dengan hisab yang sungguh-sungguh dan menyiksa mereka dengan siksaan yang menyakitkan” (HR. al-Thabrani).

3). Membersihkan jiwa dari segala macam penyakit kikir dan bakhil, mem- biasakan diri orang yang beriman sifat kesungguhan dan kedermawanan. Tidak hanya terbatas pada zakat saja, tetapi bagian dari kewajiban social dalam membantu negara untuk memberi manakala ada kebutuhan, kepentingan tentara, menghalau musuh, dan membantu kaum fakir untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Untuk itulah sebagaimana penulis kemukakan di depan, dalam Islam terdapat banyak sekali instrumen ekonomi yang bertujuan untuk membantu mereka yang kekurangan, baik yang wajib maupun yang sunnah.

4). Sebagai ungkapan terima kasih (syukur) atas segala kenikmatan yang telah dilimpahkan oleh Allah swt. Al-Zuhaili menganalogikan, membayar zakat itu laksana shalat, puasa satu bulan, dan menunaikan ibadah haji.

3. Macam-macam Zakat
 
Adapun macam-macam zakat sebagaimana telah diketahui oleh umat Islam, adalah sebagai berikut :
1) Zakat Fitrah adalah mengeluarkan 2,5 kg – ada yang menghitung 2,8 kg -- (3,1 liter) dari makanan pokok (yang senilai) yang bersangkutan (setiap orang Islam besar kecil, tua muda, tuan dan hamba) diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq), bahkan bayi yang lahir satu jam di akhir bulan Ramadhan juga wajib dikeluarkan zakat fitrahnya. Dasarnya adalah riwayat Ibn ‘Umar :
“Rasulullah Saw mewajibkan (memfardukan) zakat fitrah dari (berbuka) Ramadan satu sha’ (3,1 liter/2,5 kg) -- ada yang memahami 2,8 kg -- kurma atau gandum bagi setiap muslim merdeka atau hamba laki-laki atau perempuan”. (HR.al-Bukhary dan Muslim).

2). Zakat Mal (harta) meliputi :

Menurut hemat saya, harta yang paling dulu harus dikeluarkan zakatnya adalah harta perniagaan dan harta yang diperoleh dari kegiatan jasa, yang sering disebut dengan zakat profesi. Dasarnya adalah Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah, 2:267 :
ياا يها الذ ين أمنوا ا نـفـقـوا من طيبات ما كسبتم ومما أخرجنا لكم من الارض ولا تيمموا الخبيث منه تنفـقـون ولستم بأخذ يه الا ان تغـمضوا فيه واعـلموا ان الله غـني حميد البقرة 267
“Wahai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.

Ayat tersebut, secara redaksional mendahulukan perintah mengeluarkan zakat dari harta-harta yang diperoleh dari hasil usaha yang baik-baik (min thayyibati ma kasabtum). Karena itu segala macam usaha atau jasa, seperti dokter, pegawai negeri sipil, TNI, Polri, makelar, konsultan, penceramah, penulis, dan segala macam usaha yang halal, bahkan tukang pijat pun kalau itu baik dan professional, apabila telah sampai batas minimal (nishab) dan satu tahun (haul) maka wajib mengeluarkan zakatnya.
‘Ubaid ibn Rifa’ah mengatakan bahwa Rasulullah saw bersama kami dan bersabda : “Wahai para pedagang, kalian pada sembrono (fujjar)kecuali orang yang bertaqwa, berbuat kebaikan dan bersedekah, dan berkata dengan harta begini dan begini”. Beliau juga bersabda : “Sembilan persepuluh rizqi adalah dalam perdagangan (jasa), dan sepersepuluh lainnya adalah kebendaan”.
Abu al-Fadhl al-Thibrisy (2:191) menjelaskan bahwa perintah “anifiqu” pada ayat di atas adalah perintah zakat. Demikian kata ‘Ubaidah al-Salmany dan al-Hasan. Al-Thibrisy berpendapat bahwa yang paling benar (al-ashahh) adalah bahwa perintah “anfiqu” pada ayat tersebut meliputi yang wajib (zakat) dan sunnah (nafilah). Maksudnya, adalah pengeluaran harta untuk jalan kebaikan dan perbuatan yang baik secara umum.
Dalam pemahaman ayat, sebaiknya urutan pertama yang harus didahulukan, yaitu zakat dari hasil usaha atau jasa yang baik-baik (min thayyibati ma kasabtum) tadi, baru setelah itu zakat pada hasil bumi, apakah itu pertanian, pertambangan, perkebunan, dan lain-lain, termasuk gas yang tidak tampak secara fisik-material, tetapi mempunyai nilai ekonomi tinggi, yang dalam bahasa Alqur’an termasuk dalam cakupan “..dan dari apa-apa yang Kami (Allah) keluarkan bagi kalian dari bumi…” (wa mimma akhrajna lakum min al-ardl).
Sampai tulisan ini disiapkan, kebanyakan orang atau pendapat, menempatkan zakat profesi atau perniagaan ini pada bagian terakhir, termasuk dalam Undang-undang Nomor : 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Pasal 11 ayat (2) menyatakan zakat hasil pendapatan dan jasa – baca profesi -- ditempatkan pada bagian belakangan, dan yang terakhir rikaz. “Harta yang dikenai zakat adalah : a). Emas, perak, dan uang. b). Perdagangan dan perusahaan. c). Hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan. d). Hasil pertambangan. e). Hasil peternakan. f). Hasil pendapatan dan jasa. g). Rikaz.
Sementara dalam kitab-kitab fiqh, masing-masing ulama berbeda pendapat dalam menempatkan urutan harta yang dikenakan zakat. Dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (t.th.:596) misalnya, harta yang dikenakan zakat adalah : a). Binatang ternak, seperti unta, sapi, kerbau, atau kambing. b). Emas dan perak. c). Makanan yang mengenyangkan dan sejenisnya. d). Buah-buahan. e). Harta perniagaan.
Ilustrasi di atas menegaskan kepada kita bahwa pertama, yang harus didahulukan adalah zakat jasa atau profesi dengan segala macam ragamnya, selama itu positif dan termasuk baik (thayyibati ma kasabtum) maka hasilnya wajib dizakati. Kedua, segala yang keluar atau dikeluarkan dari bumi, sepanjang itu bernilai ekonomi dan halal, apakah itu tambang, seperti emas, perak, batu bara, platinum, minyak, gas, tembaga, batu, pasir, dan belerang, atau tumbuh-tumbuhan, apakah itu yang dalam bahasa fiqh disebut makanan pokok (qut atau memberi kekuatan) maupun tumbuh-tumbuhan pertanian, perkebunan, dan atau buah-buahan, seperti padi, jagung, gandum, klengkeng, melon, apel, anggur, kurma, semangka, atau tembakau, melati dan bunga-bunga lainnya, semuanya wajib dikeluarkan zakatnya (Wahbah al-Zuhaili :1799). Jadi selama usaha yang dilakukan termasuk kategori usaha yang baik dan halal (thayyib), maka penghasilannya sepanjang telah memenuhi nisab (batas minimal) dan haul (satu tahun) dengan memahami petunjuk umum (dalalah ‘ammah) atau menggunakan metode qiyas, maka wajib dizakati. Demikian juga segala macam hasil bumi baik yang dari dalam maupun di luar, wajib dizakati.

Syarat-syarat dan Penghitungan Zakat :

Zakat sebagai ibadah ijtima’iyah maliyah (sosial kebendaan) baru diwajibkan ketika orang-orang yang memiliki harta memenuhi syarat sebagai berikut : 1). Islam; 2). Merdeka; 3). Milik sempurna; 4). Cukup satu nishab (batas minimal); 5). Satu tahun (al-haul) untuk beberapa jenis zakat.
Adapun cara penghitungannya masing-masing Ulama terkadang ada yang berbeda dalam menentukan batas minimal (nishab) harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Di bawah ini secara sederhana penulis sajikan tabel sebagai berikut :

Jenis harta, Nishab dan Zakatnya

No Jenis barang Nisab Zakat Keterangan
01 Zakat Profesi analog dg emas
85 gram (ada yg 92 atau 96 gram emas) 2,5 % x Rp 12.750.000,- = Rp 318.500,00- harga emas 1 gr = dihitung
Rp 150.000,-
85 x Rp 150.000,= Rp 12.750.000,-
02 Ternak Unta 5 - 9 ekor
10 - 14 ekor 1 kambing
2 kambing usia 2 tahun
2 tahun (dst)
Ternak kerbau 30 - 39 ekor
40 - 59 ekor
60 - 69 ekor 1 kerbau
1 kerbau
2 kerbau 2 tahun
Ternak kambing 40 - 120 ekor
120 - 200 ekor
210 - 399 ekor 1 kambing betina
2 kambing betina
3 kambing betina 2 tahun
03 Emas 20 misqal 2,5 %=0,5 misqal 20 misqal =93,6gr
Perak 200 dirham 2,5 %=5 dirham 200 dirham =624 gr.
Perhiasan lebih (simpanan) 20 misqal 2,5 %=0,5 misqal
04 Makanan pokok lebih dr 5 wasaq
= 200 dirham 1/10 irigasi alam
1/20 irigasi biaya setiap panen
1 wasaq = 40 dirham
05 Buah-buahan (segala macam) lebih dr 5 wasaq = 200 dirham 1/10 irigasi alam
1/20 irigasi biaya setiap panen
1 wasaq = 40 dirham
06 Perniagaan analog dg emas
85, 92, atau 96 gram 2,5 % = Rp 210.000,00. 1 tahun dari awal penghitungan

Selain jenis harta seperti diuraikan di atas, dalam perkembangan kehidupan perekonomian modern, seseorang akan merasa lebih aman misalnya, ketika menyimpan uangnya di bank, apakah itu berbentuk saham, deposito, tabungan, dan lain-lain, maka menurut Wahbah al-Zuhaili, juga wajib dizakati. Demikian juga, hutang atau kredit, untuk kepentingan usaha. Karena pengertian hutang yang termasuk kategori gharim adalah hutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dalam penghitungan nishab, dalam kenyataannya boleh jadi dari macam-macam harta yang wajib dizakati, jika dihitung satuan-satuannya tidak memenuhi nishab. Oleh karena itu, penghitungannya dapat dilakukan secara kolektif. Tetapi jika masing-masing harta tersebut memenuhi satu nishab, maka penghitungan zakatnya dihitung dari masing-masing jenis harta.

‘Amil dan Manajemen Zakat

Pada masa Rasulullah saw zakat dikelola oleh pemerintah. Riwayat Abu ‘Ubaid dari Ibn Sirin dalam kitab al-Amwâl (1353 H:567) menjelaskan bahwa zakat pada periode awal Islam dilaksanakan oleh pemerintah. Baru pada masa ‘Usman muncul ide untuk menyerahkan zakat itu kepada pribadi-pribadi.

كانت الصدقة تد فع الى النبي صلى الله عليه وسلم او من أمر به والى ابى بكر او من امر به والى عمر او من امر به والى عثمان او من امر به فلما قتل عثمان اختلفـوا وكان منهم من يد فعها ا ليهم ومنهم من يقسمها وكان ممن يدفعها اليهم ابن عمر

“Dulu zakat diserahkan kepada Nabi SAW atau petugas yang beliau utus, kepada Abu Bakr atau petugas yang beliau suruh, kepada Umar atau petugas yang beliau suruh, kepada Usman atau petugas yang beliau suruh. Ketika Usman terbunuh maka terjadilah kontroversi. Diantaranya ada yang membayar zakat kepada pemerintah, dan ada yang membaginya sendiri. Di antara yang tetap membayar zakat kepada pemerintah adalah Ibn ‘Umar”.

Data tersebut diperkuat lagi oleh tindakan Abu Bakr yang memerangi kaum pembangkang zakat. Sebagai khalifah atau pemimpin negara, Abu Bakr merasa berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menyejahterakan warganya, dan potensi besar zakat menjadi salah satu alternatif yang perlu dioptimalkan. Dalam hadis dari Abu Hurairah ditegaskan :

والله لا قا تلن من فرق بين الصلاة والزكاة فان الزكاة حق المال والله لو منعـونى عنا قا كا نوا يؤد ونها الى رسول الله صلى الله عليه
وسلم لقاتلتهم على منعها رواه البخارى

“Demi Allah, aku akan memerangi orang-orang yang memisahkan antara salat dan zakat, karena zakat adalah hak kebendaan. Demi Allah sekiranya mereka menolak membayar seekor kambing, dan mereka menunaikannya kepada Rasulullah SAW sungguh aku memerangi mereka karena penolakannya itu”. (Riwayat al-Bukhary, 1981:110).

Karena itu kepada mereka yang tidak mau membayar zakat dan menyerahkannya kepada pemerintah sebagai amil, sementara mereka menyerahkannya kepada Rasulullah, diperangi. Pertimbangannya, kalau mereka dibiarkan besar kemungkinan akan menjadi preseden buruk bagi pemahaman terhadap ajaran Islam dan akan dapat membelokkan ajaran Islam itu sendiri. Dari perspektif ini, jika Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama RI No. 581/1999 dan disusuli dengan Keputusan Menteri Agama No. 373 Tahun 2003, dimaksudkan agar pengelolaan zakat dapat berjalan sesuai dengan tujuan disyariatkannya zakat itu sendiri.
Persoalannya sekarang adalah, bagaimana BAZ (Badan Amil Zakat) atau LAZ (Lembaga Amil Zakat) sebagai instrumen penghimpun, pengelola zakat dapat melaksanakan tugas pemberdayaan ekonomi umat dapat bekerja secara professional.
M. Quraish Shihab (1992:323) berpendapat, “zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Seseorang yang telah memenuhi syarat-syaratnya dituntut untuk menunaikannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau terpaksa “dengan tekanan penguasa”. Oleh karena itu, agama menetapkan ‘amilin atau petugas-petugas khusus yang mengelolanya, di samping menetapkan sanksi-sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap mereka yang enggan”.
‘Amil berasal dari kata ‘amal yang biasa diterjemahkan dengan “yang mengerjakan atau pelaksana”. Muhammad Rasyid Ridha, ketika menafsirkan ayat 60 surat al-Taubah, menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘amil zakat adalah “mereka yang ditugaskan oleh imam atau pemerintah atau yang mewakilinya, untuk melaksanakan pengumpulan zakat dan dinamai al-jubat, serta meyimpan atau memeliharanya yang dinamai al-hazanah (bendaharawan), termasuk pula para pengembala, petugas administrasi. Mereka semua harus terdiri dari orang-orang Muslim” (Quraish Shihab, 1992:326).
Abu Zahrah (1965:192) mendefinisikan ‘amil adalah “mereka yang bekerja untuk pengelolaan zakat, menghimpun, menghitung, mencari orang-orang yang butuh (mustahiqqin), serta membagikan kepada mereka”. Lebih jauh ia merumuskan kaidah “ الأصل فى الزكاة أن يجـمعـها كلها ولي الأمر او من ينـوب عـنه ” artinya “pada dasarnya zakat dikumpulkan semuanya oleh pemerintah atau yang mewakilinya”. Salah satu bentuk pengorganisasian zakat yang diusulkan adalah melalui badan/lembaga amil yang diawasi oleh pemerintah.
Yusuf Qardlawy dalam Fiqh al-Zakat (II:576) merinci bahwa ‘amil zakat adalah “semua orang yang terlibat atau ikut aktif dalam organisasi kezakatan, termasuk penanggung jawab, para pengumpul, pembagi, bendaharawan, penulis dan sebagainya”. Jadi, walaupun sementara ulama berpendapat bahwa ‘amil tidak harus diangkat atau ditunjuk penguasa, namun semua ulama sependapat bahwa keterlibatan imam – atau penguasa – dalam pengelolaan zakat merupakan suatu kebijaksanaan yang terpuji.
Selanjutnya Yusuf Qardlawy dalam Musykilât al-Faqr wa Kaifa ‘Alajahâ al-Islâm yang diterjemahkan Problema Kemiskinan : Apa Konsep Islam (tt:144) mengatakan bahwa keistimewaan kebijaksanaan pembentukan ‘amil tersebut antara lain : 1). Jaminan terlaksananya syari’at zakat (bukankah ada saja manusia-manusia yang berusaha menghindar bila tidak diawasi oleh penguasa ?); 2). Pemerataan (karena dengan keterlibatan satu tangan, diharapkan seseorang tidak akan memperoleh dua kali dari dua sumber, dan diharapkan pula semua mustahiq akan memperoleh bagiannya); 3). Memelihara air muka para mustahiq, karena mereka tidak perlu berhadapan langsung dengan para muzakki, dan mereka tidak harus pula dating meminta; 4). Sektor (ashnaf yang harus menerima) zakat, tidak terbatas pada individu, tetapi juga untuk kemashlahatan umum, dan sektor ini hanya dapat ditangani oleh pemerintah.
Ilustrasi tersebut menegaskan, bahwa keberadaan ‘amil perlu diberdayakan secara profesional, sehingga dapat menjalankan tugas-tugas pemberdayaan ekonomi umat ini dengan sebaik-baiknya.

Mustahiq Zakat dan Pemberdayaannya

Dalam Islam diatur secara detail bahwa orang-orang yang berhak menerima zakat ada 8 (delapan) kelompok, seperti dijelaskan dalam QS.al-Taubah : 60,

إنما الصدقت للفقراء والمساكين والعـملين عـليها والمؤلفة قـلوبهم وفى الرقاب والغارمين وفى سبيل الله وابن السبييل فريضة من الله والله عليم حكيم المائدة 60

Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.QS. al-Taubah : 60).

Di dalam pendistribusiannya ‘Umar bin al-Khattab berpendapat bisa saja diberikan kepada salah seorang mustahiq, bisa juga dibagi rata. Namun yang perlu dipertimbangkan adalah, bahwa tujuan zakat adalah untuk merubah mereka dari penerima zakat menjadi pembayar zakat (muzakki). Karena itu dibutuhkan analisis dan skala prioritas di dalam pendistribusiannya, agar tujuan zakat untuk memberdayakan ekonomi mustahik menjadi muzakki, maka diperlukan manajemen yang professional,amanah, dan akuntabel. Di sinilah masuliyah badan/lembaga amil itu dipertaruhkan.
Pembagian zakat secara konsumtif boleh jadi masih diperlukan, namun tidak semua harta zakat yang dihimpun dari para aghniya’ dihabiskan dan dibagi secara konsumtif. Maksudnya, ada sebagian lain yang mestinya lebih besar, dikelola dan didistribusikan secara investatif, untuk memberikan modal kepada para mustahiq, dan selanjutnya dengan investasi tersebut, mereka dapat membuka usaha, dan secara lambat laun mereka akan memiliki kemampuan ekonomi yang memadai.

Kesimpulan

Harta yang wajib dizakati, tidak harus dipahami secara tekstual seperti dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi mengingat perkembangan jenis usaha yang semakin luas, baik yang berkaitan dengan jenis pertanian maupun pengelolaan agribisnis lainnya, maka semua hasil usaha yang baik dan halal jika sudah terpenuhi nisab dan haul, wajib dizakati. Demikian juga, sektor jasa yang secara ekonomi “lebih menjanjikan”, juga wajib dikeluarkan zakatnya jika persyaratan minimal dan rentang waktu telah terpenuhi. Alangkah tidak adilnya, jika petani dikenakan zakat setiap kali panen, sementara sektor jasa yang penghasilannya dapat berlipat-lipat, tetapi tidak dikenakan zakat.
Karena itu, dapat ditegaskan bahwa Pemerintah -- dengan merefer pada pesan QS. al-Taubah ayat 103 yang artinya “ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka...”, berkewajiban menjadi pelopor dan bertanggung jawab atas efektif dan tidaknya gerakan, pengelolaan, dan pendistribusian zakat. Yang terpenting adalah kerja dan kinerja yang efektif profesional dan akuntabel.
Wa Allah a’lam bi al-shawâb.
Adsens Kiri Adsens Kanan

0 komentar:

Posting Komentar

Postkan Komentar Anda

 
Note & Pena © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top