Adsense Atas

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Selatan dalam rapatnya pada tanggal­­­­­­­­­ 4 Maret 2008 yang bertepatan dengan tanggal _____________ setelah:

Menimbang:

  1. Permintaan Bapak____________________ pada tanggal___________ tentang masalah nikah tanpa wali.
  2. Pernikahan adalah suatu masalah yang sakral dalam agama Islam dan merupakan sunnah Ilahi yang digariskan untuk manusia.
  3. Bahwa sering terjadi pernikahan tanpa wali nasab di kalangan masyarakat.
  4. Bahwa masyarakat khususnya umat Islam mengharapkan MUI mengeluarkan fatwanya tentang masalah tersebut.

Membaca:

UU Perkawinan No. I/1974 dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, jika dilaksanakan dengan baik maka perkawinan tanpa wali tidak akan terjadi.

Memperhatikan:

  1. Bahwa yang bertindak sebagai wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, berakal dan baligh dan terbagi menjadi wali nasab dan wali hakim.
  2. Bahwa wali yang paling berhak adalah wali nasab terdekat. Apabila wali terdekat uzur maka hak perwalian bergeser kepada wali nikah lain terdekat.
  3. Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya.
  4. Pengaruh dan dampak negatif dari pernikahan tanpa wali terdekat, nikah paksa dan nikah lari.



Mengingat:
A. Ayat-ayat Al-Qur'an

  1. Surat Al-Baqarah ayat : 232
 

"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui."

  1. Surat Al-Baqarah ayat : 221
"Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman."

  1. Surat An-Nur Ayat 32:
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan"


B. Hadis Rasulullah Saw

 لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ (رواه الخمسة)

" Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali" (Riwayat Khamsah)

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ، بَاطِلٌ, بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا ، فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ (رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلَّا النَّسَائِيّ صَحَّحَهُ أَبُو عَوَانَةَ ، وَابْنُ خُزَيْمَةَ ، وَابْنُ حِبَّانَ)

" Perempuan manapun yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya bathil, bathil, bathil. Apabila seorang laki-laki telah berhubungan maka bagi perempuan mahar atas apa yang dihalalkan dari kemaluannya. Apabila mereka bersengketa maka pemimpin adalah wali bagi yang tak memiliki wali" (Diriwayatkan oleh Khamsah kecuali An-Nasa'I dan disahihkan oleh Abu 'Awanah, Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban)

لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ . وَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ (أَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ)

"Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali, pemimpin adalah wali bagi siapa yang tak memiliki wali" (HR. Thabrani)

لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ ، وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةَ نَفْسَهَا (أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ )
"Tidak boleh seorang perempuan menikahkan perempuan lain dan menikahkan dirinya sendiri (HR. Ibnu Majah)

وَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ (أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَالدَّارَقُطْنِيّ وَالطَّبَرَانِيُّ وَالْبَيْهَقِيُّ)
 "Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan saksi yang adil" (HR. Ahmad, Daruquthni, Thabani dan Baihaqi)

" الأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِى نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا"
 (رواه الجماعة إلا البخاري)

"Seorang janda lebih berhak dari walinya dan seorang perawan diminta izin darinya, dan izinnya adalah diamnya" (Riwayat Jama'ah kecuali Bukhari)         

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَتْ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِىَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-" (رواه أحمد، وأبو داود، وابن ماجه، والدارقطني)

"Dari Ibnu Abbas, bahwa seorang gadis perawan datang menemui Nabi Muhammad Saw melaporkan bahwa bapaknya menikahkannya dan ia benci akan hal tersebut maka Rasulullah memberi pilihan untuknya (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Daruqutni)
عَنْ خَنْسَاءَ بِنْتِ خِدَامٍ الأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِىَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَرَدَّ نِكَاحَهَا. (أخرجه الجماعة إلا مسلما)
Dari Khansa' binti Khidam Al-Anshariyyah, sesungguhnya bapaknya menikahkannya sedangkan dirinya berstatus janda dan ia tidak menyukai hal tersebut. Ia menemui Rasulullah dan memberitahukan prihal tersebut. Rasulullah menolak pernikahnnya (Riwayat Jama'ah kecuali Muslim)

عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ إِنَّ أَبِى زَوَّجَنِى ابْنَ أَخِيهِ لِيَرْفَعَ بِى خَسِيسَتَهُ. قَالَ فَجَعَلَ الأَمْرَ إِلَيْهَا. فَقَالَتْ قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِى وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ إِلَى الآبَاءِ مِنَ الأَمْرِ شَىْءٌ(رواه ابن ماجه).

Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya ia berkata: telah datang seorang perempuan kepada Rasulullah dan berkata bahwa bapaknya menikahkan dirinya dengan anak saudaranya (bapak) agar dengan diriku kehinaannya (anak saudaranya)  terangkat. Ia berkata bahwa Rasulullah menyerahkan urusan/putusan kepada dirinya (perempuan). Sang perempuan pun berkata: sesungguhnya aku telah menyetujui apa yang dilakukan bapakku terhadap diriku akan tetapi aku hanya ingin kaum wanita mengetahui bahwa dalam urusan ini (pernikahan) seorang bapak tidak memiliki wewenang penuh (HR. Ibnu Majah)                                                              

عَنِ الْحَسَنِ قَالَ قَوْله ( فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ ) حَدَّثَنِي مَعْقِل بْن يَسَار أَنَّهَا نَزَلَتْ فِيهِ زَوَّجْت أُخْتًا لِي مِنْ رَجُل فَطَلَّقَهَا حَتَّى إِذَا اِنْقَضَتْ عِدَّتهَا جَاءَ يَخْطُبهَا فَقُلْتُ لَهُ زَوَجْتُكَ   وَأَفْرَشْتُك وَأَكْرَمْتُكَ فَطَلَقْتَهَا ثُمَ جِئْتَ تَخْطُبُهَا لَا وَاللَّه لَا تَعُود إِلَيْك أَبَدًا وَكَانَ رَجُلًا لَا بَأْس بِهِ وَكَانَتْ الْمَرْأَةُ تُرِيْدُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهِ فَأَنْزَلَ اللَّه هَذِهِ الْآيَة :(فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ ) فَقُلْت الْآن أَفْعَل يَا رَسُول اللَّه . قَالَ فَزَوَّجَهَا إِيَّاهُ (رواه البخاري)

Dari Hasan ia berkata tentang firman Allah (maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka) Ma'qil bin Yasar berkata padaku bahwa ayat tersebut turun atas dirinya. Aku telah menikahkan saudariku kepada seseorang, lalu ia menthalaqnya hingga masa iddahnya selesai ia datang kembali padaku untuk melamarnya. Akupun berkata: aku telah menikahkanmu, menyiapkan rumah untukmu dan memuliakanmu kemudian kamu mentahalaqnya dan sekarang datang melamarnya kembali. Demi Allah ia tidak akan kembali lagi padamu -ia adalah seorang lelaki biasa-. Sedangkan adiknya (perempuan) ingin kembali padanya maka turunlah ayat ini. Aku pun berkata: sekarang aku lakukan wahai Rasulullah. Maka aku nikahkan adikku  dengannya (HR. Bukhari)

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ (رواه الترمذى)
       Apabila datang kepadamu seseorang yang melamar dan dia kau redhoi/anggap baik agama dan akhlaknya maka nikahkanlah ia. Jika tidak maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar (HR. Tirmidzi)

C. Pendapat Jumhur ulama bahwa adanya wali merupakan syarat sah  nikah hal tersebut disesuai dengan urutan/derajat perwalian dalam Islam

Memutuskan
1. Menfatwakan:
a.      Pernikahan tanpa wali nasab yang langsung diambil alih wali hakim tanpa sepengetahuan dan izin wali nasab hukumnya tidak sah
b.      Pernikahan tanpa izin/restu wali terdekat dan dia masih hidup serta diketahui keberadaannya hukumnya tidak sah
c.       Apabila wali (bapak) berhalangan/ghaib dan mengizinkan pernikahan putrinya, maka wali pernikahan pindah ke wali terdekat dan atau ke wali hakim
d.     Pernikahan hendaknya didasari atas komunikasi terbuka antara bapak dan anak (calon isteri) tanpa unsur pemaksaan akan tetapi saling pengertian
e.      Apabila wali (bapak) enggan menikahkan/tidak merestui dan calon suami sepadan (kufu') dengan calon istri dan siap dengan mahar mitsil maka calon isteri dapat meminta ganti wali pernikahan kepada wali hakim dan bagi wali hakim harus memeriksa keadaan sebenarnya antara calon isteri, wali nasab dan calon suami.
f.        Yang dimaksud dengan sepadan (kufu) adalah kesepadanan antara calon suami dan isteri dilihat dari agama.
g.      Yang dimaksud dengan mahar mitsil adalah mahar yang merupakan hak calon isteri sebagaimana mahar calon isteri lain yang hidup/sejawat dengannya baik dari agama, akal, perawanan/janda, kecantikan dan harta saat akad pernikahan berlangsung.



2. Menghimbau :
a.      Menganjurkan kepada pemerintah terkhusus Departeman Agama (Depag) untuk membuat Undang-Undang perwalian yang lebih rinci.
b.      Menganjurkan kepada pemerintah terkhusus Departeman Agama (Depag) dan Kantor Urusan Agama (KUA) untuk mengadakan pelatihan intensif bagi calon petugas dan petugas P3N tentang permasalahan nikah dan thalaq secara masal.
c.       Seluruh masyarakat terkhusus kaum muda untuk mempelajari pandangan Islam tentang nikah dan perceraian
d.     Menghimbau kepada alim ulama, guru-guru, muballigh dan pendidik untuk giat memberikan pendidikan dan penerangan kepada masyarakat mengenai pandangan Islam seputar nikah dan thalaq.

Semoga Allah Swt senantiasa membimbing umat Islam ke jalan yang lurus dan diredhoi-Nya.

                                                                    Palembang, __Muharram  1429 H
                                                                              4     Maret    2008 M

KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
SUMATERA SELATAN



                   Ketua                                                                                                  Sekretaris



         Drs. H. Lutfi Izzuddin                                                                              H. M. Abu Dzar, Lc.


Mengetahui
Ketua Umum MUI Sumsel




(Drs. KH. M. Sodikun)






Adsens Kiri Adsens Kanan

0 komentar:

Posting Komentar

Postkan Komentar Anda

 
Note & Pena © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top